Kamis, 20 Agustus 2009

Canda dan Gurauan Rasulullah



Rasulullah SAW bergaul dengan semua orang. Baginda menerima hamba, orang buta, dan anak-anak. Baginda bergurau dengan anak kecil, bermain-main dengan mereka, bersenda gurau dengan orang tua. Akan tetapi Baginda tidak berkata kecuali yang benar saja.
Suatu hari seorang perempuan datang kepada beliau lalu berkata, "Ya Rasulullah! Naikkan saya ke atas unta", katanya. "Aku akan naikkan engkau ke atas anak unta", kata Rasulullah SAW. "Ia tidak mampu", kata perempuan itu. "Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta". "Ia tidak mampu". Para sahabat yang berada di situ berkata, "bukankah unta itu juga anak unta?"

Datang seorang perempuan lain, dia memberitahu Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, suamiku jatuh sakit. Dia memanggilmu". "Semoga suamimu yang dalam matanya putih", kata Rasulullah SAW. Perempuan itu kembali ke rumahnya. Dan dia pun membuka mata suaminya. Suaminya bertanya dengan keheranan, "kenapa kamu ini?". "Rasulullah memberitahu bahwa dalam matamu putih", kata istrinya menerangkan. "Bukankah semua mata ada warna putih?" kata suaminya.
Seorang perempuan lain berkata kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dimasukkan ke dalam syurga". "Wahai ummi fulan, syurga tidak dimasuki oleh orang tua". Perempuan itu lalu menangis. Rasulullah menjelaskan, "tidakkah kamu membaca firman Allah ini,

Serta kami telah menciptakan istri-istri mereka dengan ciptaan istimewa, serta kami jadikan mereka senantiasa perawan (yang tidak pernah disentuh), yang tetap mencintai jodohnya, serta yang sebaya umurnya".

Para sahabat Rasulullah SAW suka tertawa tapi iman di dalam hati mereka bagai gunung yang teguh. Na'im adalah seorang sahabat yang paling suka bergurau dan tertawa. Mendengar kata-kata dan melihat gelagatnya, Rasulullah turut tersenyum.

Rabu, 05 Agustus 2009

RI’AYAH MA’NAWIYAH (2)

Pertama, at-tawazun fit tauzhif, keseimbangan dalam memfungsikan potensi yang tersedia, potensi yang ada pada ikhwan dan akhwat, apakah potensi itu, potensi intelektual dengan tsaqafah kauniyahnya ataukah potensi ulama dengan tsaqafah syar’iyahnya ataukah potensi para praktisi bisnis apakah para budayawan, para seniman, para pedagang menengah, pedagang kecil, para pendidik, para sosiolog, seluruhnya harus seimbang terfungsikan. Saya sebutkan seimbang, terfungsikan, mengingat selain fungsi-fungsi dakwah, mereka pun dituntut akan fungsi-fungsi dari kafaah masing-masing. Kafaah mereka sebagai mu’allim, kafaah mereka sebagai mudarris kafaah mereka sebagai birokrat, kafaah mereka sebagai politisi, kafaah mereka sebagai pedagang dan kafaah-kafaah yang lain juga perlu difungsikan, karena semuanya adalah bagian dari khazanatud da’wah. Sekali lagi harus dengan tawazun, at-tawazun fit tauzhif. Allahu akbar walillahil hamd

Ikhwan dan akhwat fillah,

Yang kedua, at-tawazun fit tafwidh, keseimbangan dalam pendelegasian wewenang. Ikhwan dan akhwat semuanya masulin dan masulat amamallah, jangan sampai menjadi seksi sibuk sementara yang lainnya tidak kebagian pekerjaan, karena kurang pendelegasian. Pendelegasian pekerjaan sudah barang tentu dengan keseimbangan. Jangan sampai dengan alasan kekurangan pendelegasian akhirnya si pemegang wewenang tidak melakukan apa-apa. Itu namanya tidak seimbang.
At-tawazun fit-tafwidh, seimbang dalam mendelegasikan wewenangnya, seimbang dalam melalui saluran-saluran wazhifah tanzhimiyah yang tersedia di bawah tanggung jawabnya kita salurkan, karena dengan kurang seimbangnya kadar atau tafwidh pendelegasian maka akan terjadi akumulatif kesibukan, tertumpuknya kerepotan, yang akhirnya kadang-kadang menuntut diri kita menjadi otoriter, dictator, karena semuanya harus memutuskan sendiri. Padahal banyak hal yang sebetulnya bisa didelegasikan untuk memutuskan. Oleh karena itu sekali lagi at-tawazun fit-tafwidh itu harus dilakukan agar seluruh fungsionaris, ikhwan dan akhwat di jajarannya masing-masing bisa mustaqir tanzhimiyan (stabil secara struktural)
Yang ketiga, at-tawazun fit-taqrir (keseimbangan dalam pengambilan keputusan), sebab pendelegasian wewenang tanpa diberi hak mengambil keputusan dalam bidangnya juga adalah pendelegasian yang mubadzir, pendelegasian yang membuat terbengkalainya potensi orang yang menerima pendelegasian itu, makanya harus ada juga keseimbangan dalam pengambilan keputusan.
Yang keempat, at-tawazun fit-tamtsil (keseimbangan dalam perwakilan), artinya fungsi-fungsi, tugas-tugas, pendelegasian-pendelegasian yang kita berikan harus juga seimbang kepada potensi-potensi semuanya merasa terwakili; potensi ulama, intelektual, potensi birokrat, potensi teknokrat, potensi bisnismen, potensi pendidik, seluruhnya terwakili, tawazun fit-tamtsil. Mengingat jamaah kita ini semakin luas dari segi tajnid jamahiri dimana para tokoh-tokoh, pakar-pakar, shahibul kafaah bergabung dengan kita atau fit tajnid rekruiting kaderisasi sudah menampakkan aneka ragam kafaah, aneka ragam muyul, yang kita rekrut, sudah barang tentu mereka secara structural merasa terwakili. Ini harus diperhatikan mengingat qa’idah tanzhimiyah kita semakin luas semakin menjangkau aneka entitas kemasyarakatan.

Ikhwan dan akhwat fillah,

Semuanya bisa mengekspresikan, bisa mengaktualisasikan, bahkan bisa mengartikulasikan ide-idenya, pendapat-pendapatnya, bakat-bakatnya, ahli-ahlinya, seluruhnya tampil dalam hidup kejamaahan yang memang membutuhkan mereka semua karena doktrin kesyumuliyahannya dan ketakamuliyahannya.
Yang kelima, at-tawazun fi tamwil, sebagai dukungan bagi kokohnya tawazun fi tauzhif, tawazun fi tafwidh, tawazun fi taqrir dan tawazun fi tamtsil jama’ah. Kita memerlukan tawazun fi tamwil. Kekokohan istiqrar tanzhimi selalu membutuhkan keseimbangan anggaran, keseimbangan pendanaan, atau keseimbangan pembiayaan. Karena amwal merupakan darah dari aktivitas manusia, begitu juga gerakan dakwah kita memerlukan darah itu, sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Al-Qur’an surat At-Taubah: 41,
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. At-Taubah: 41)

Ikhwan dan akhwat fillah,

Keseimbangan anggaran dalam jamaah adalah merupakan keharusan, jangan sampai terjadi adanya bidang miskin dan bidang kaya, atau departemen ‘basah’ dan departemen ‘kering’, atau wilayah dakwah gemuk dan wilayah dakwah kurus. Untuk terjaganya tawazun fi tamwil atau keseimbangan anggaran, atau keseimbangan pembiayaan diperlukan dua hal:
Pertama, adanya keadilan anggaran antar pusat dan daerah, antara wilayah, dan antar bidang, antar departemen. Keadilan anggaran juga berarti keharusan memperhatikan keseimbangan antara kemampuan otoritas keuangan jamaah dalam memenuhi anggaran dengan tuntutan kebutuhan bidang-bidang, departemen-departemen, dan wilayah-wilayah atas anggaran
Kedua, adanya semangat ta’awun, semangat tadhamum, dan semangat takaful antar bidang, antar departemen, antar wilayah dan bahkan antar personil jamaah dakwah ini, sehingga jamaah dakwah ini benar-benar menjadi 'kal jasadil wahid’ yang seluruh komponennya saling merespon satu sama lain secara proaktif.
Istiqrar Da'wi

Ikhwan dan akhwat fillah, jika istiqrar tanzhimi tadi bisa terwujud dengan seluruh muqawwimat-nya yang lima tersebut terpenuhi, maka, insya Allah terjadilah istiqrar da'wi, dakwah kita stabil, jalan terus. Guncangan apapun tidak akan membuat kita terguling, jebakan apapun tidak akan membuat kita terperosok, situasi apapun kita tidak membuat kita terkecoh, insya Allah dakwah yang mustaqirrah, istiqrar da’wi itu adalah sangat penting dalam rangka mewujudkan matanatul jamaah tadi.

Hayawiyatul Harakah

Ikhwan dan akhwat fillah, kemudian yang ingin saya sampaikan tadi yang kedua adalah hayawiyatul harakah (masalah dinamika harakah). Dinamika harakah ini juga mempunyai keterkaitan dengan aspek manajerial yang sering saya sebutkan sebagai khuthuwat tahfizhiyah (langkah-langkah penggairahan, pembangkitan semangat) dari seluruh anggota jamaah ini, dari seluruh aktivis dakwah ini seperti yang sering saya sebutkan,
1. Pertama, musyarakah ‘inda ittikhadzil qarar (keterlibatan dalam mengambil keputusan), syuriyan wa istisyaratan, secara isytisyarah konsultatif (syura secara informal),
2. Kedua, at-tasyji’ ‘indal ijtihad (membangkitkan semangat berijtihad), berani mengemukakan pendapat, berani memberikan kontribusi pemikiran, berani memasukkan usulan-usulan harus digalakkan. Karena salah satu potensi besar yang dianugerahkan Allah pada kemanusiaan adalah akal. Kalau akal para aktivis duat dan daiyat tidak dirangsang untuk berijtihad maka akal mereka akan terbengkalai, artinya kita telah menelantarkan potensi terbesar dari kemanusiaan yang merupakan anugerah Allah Taala. At-tasyji’ ‘indal ijtihad adalah merupakan dari bagian dari keseharian manajemen dakwah.
3. Ketiga, ad-da’m ‘inda tanfizh (memberikan dukungan dalam melaksanakan tugas-tugas). Mungkin dukungan itu berupa yang mubarakah; Allah yanshurkum, Allahu yutsabbit aqdaamakum atau bahkan dengan memikirkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam back-up dalam pelaksanaan tugas-tugas kita pikirkan bersama. Jika setiap ikhwan dan akhwat di lapangan merasa bahwa ia tidak berjalan sendirian, ada ikhwan dan akhwat yang mendukungnya, ada ikhwan dan akhwat yang mendukung dengan menyediakan fasilitas sarana dan prasarana, ada ikhwan dan akhwat yang memberikan dukungan pemikiran, ada ikhwan dan akhwat yang melakukan tawashau bil haq, tawashau bis shabr, dan tawashau bil marhamah, yang menuntun dari kemungkinan-kemungkinan terpeleset kepada kesalahan, dan membantu mengokohkan kesabaran dalam menghadapi tantangan, juga yang menolong ketika mengalami kesulitan atau musibah dengan penuh kasih sayang, maka dia akan semakin dinamis dalam bergerak. Hayawiyatul harakah adalah salah satu bagian dari yang harus diperhatikan melalui khuthuwat tahfizhiyah tadi.
4. Keempat, al-i’tiraf wat taqdir ‘indal injaz (pengakuan dan penghargaan ketika berkarya). Karena sudah menjadi fitrah manusia, selain dia perlu pengakuan akan eksistensi dirinya, tapi juga perlu penghargaan atas prestasi dirinya jazaan bima kanu ya’malun itulah yang dicontohkan oleh Allah Taala, selalu ditawarkan al-jaza, al-jaza, dan al-jaza. Sudah barang tentu kita tahu bahwa seluruh duat dan daiyat motivasinya lillahi Taala. Laa uridu minhum jazaan au syukura, bahasanya memang begitu yang menjadi landasan keyakinannya dalam berjuang tapi sebagi jamaah sudah barang tentu harus menghargai setiap fitrah dari setiap aktivis dakwah. Jika berprestasi kita berikan jazaan au syukura, kalau tidak memberikan imbalan berilah ucapan terima kasih atas prestasinya.
5. Kelima, al-insyaf indal khatha’ (keinsyafan ketika dia melakukan kesalahan) sehingga jika dia bersalah pun disambut dengan sikap afwan watasamuha. Bukan saja berprestasi kita sambut dengan jazaan aw syukura tetapi jika bersalah pun afwan wa tasamuha (pemaafan dan toleransi). Kita mengakui hak kemanusiaan untuk kemungkinan bersalah jangan sampai akibat kesalahannya seorang ikhwan, seorang akhwat dilecehkan, didiskreditkan sehingga potensinya hancur di perjalanan. Padahal kesalahannya itu hanya sebuah kepeseletan dari sekian ribu langkah dakwahnya yang sudah diayunkan selama ini dengan benar. Kita jangan membunuh masa depan mereka, masa depan dakwah mereka. Karenanya lihat tuntunan manajemen dakwah Allah Taala.
Jika terjadi kesalahan, fa’fu anhum, maafkan mereka, wastaghfir lahum, bahkan secara proaktif memohonkan ampunan baginya dari Allah Taala, dan bahkan sesudah salah pun masih diperintahkan fasyawirhum fil amri, masih diajak musyawarah. Sudah mendapatkan afwu wa thalabul maghfirah, fasyawirhum fil amri, Sehingga bangkit kembali azam dia untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sehingga memiliki kembali tekad bersama faidza ‘azamta fatawakkal alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin.
Ikhwan dan akhwat fillah, khuthuwat tahfizhiyah ini untuk memelihara hayawiyatud da’wah. Untuk memelihara hayawiyatud da’wah kita harus mendorong:

1. Semangat interaktif dari seluruh kader-kader dakwah dengan segala permasalah Islam wal muslimin, segala permasalahan bangsa dan tanah air, segala permasalahan dunia dan kemanusiaan. Dengan semangat interaktif terus-menerus dengan segala qadhaya, Islam wa qadhaya ummah, qadhaya wathan wal qaum, wa qadhaya insaniyah wa ‘alamiyah, insya Allah, kegairahan itu bisa terpelihara.

2. Syajaah adabiyah, keberanian moral untuk melangkah karena sadar akan tanggung jawabnya dalam perjalanan dakwah ini.

3. Jur-atul mubadarah, keberanian untuk berinisiatif, keberanian untuk melangkah, keberanian untuk melakukan sesuatu, if’al syai’an lillah, if’al syai’an lil islam wal muslimin, dia lakukan sesuatu, berani dengan jur-atul mubadarah. dengan keberanian berinisiatif.

4. Jur-atul ibtikarah, keberanian berkreativitas, menemukan asalib jadidah (metode-metode baru), wasail jadidah (sarana/prasarana baru) dan mungkin ijra-at jadidah (prosedur-prosedur baru) untuk mensukseskan dakwah ini. Ikhwan dan akhwat fillah insya Allah dengan dua hal tadi hayawiyatul harakah (dinamika gerakan) dakwah kita akan dipelihara dengan terus menerus.

5. Keberanian menghadapi kenyataan, apapun adanya kenyataan yang kita hadapi, kita harus bisa mengontrol diri, dan kemampuan mengontrol diri merupakan langkah awal untuk mampu mengontrol keadaan dan bahkan mampu merubah keadaan menjadi lebih baik.

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka… (Q.S. Ali Imran: 159)
Intajiyatud Da’wah
Munthalaq da’wah kita yang ketiga adalah intajiyatud da’wah (produktivitas dakwah) . Berdakwah sering kali hasilnya itu bernilai substansial tapi secara material tidak ril kelihatan. Kadang-kadang kita bekerja, bekerja, bekerja,.. apa ya hasilnya? Sudah barang tentu ada ukuran-ukuran yang menandai keberhasilan dakwah itu. Tapi ukuran-ukuran itu memang cenderung normatif tapi bisa dijadikan patokan, yaitu pertama intajiyatud da’wah kita bimayurdhillah (dengan apa-apa yang membuat Allah ridha. Dan keridhaan Allah yang diturunkan kepada para dai membuat dia, hatinya dikucuri rahmat oleh Allah sehingga hatinya lembut (rahabatush shadr), santun, fabima rahmatillahi linta lahum. Jadi ada refleksi dari hasil dakwah yang menghasilkan ridha Allah yaitu hati yang penuh dengan ghamarati rahmatillah (curahan rahmat Allah) yang qulub layyinah, mutasamihah (hati yang lembut, santun toleran dan seterusnya. Itu tandanya ada keberhasilan bima yurdhillah. Begitu juga bima yanfa’ul islam wal muslimin, yang kedua, keberhasilan dakwah dengan memberikan manfaat kepada Islam dan muslimin. Ini responnya akan nampak lebih jelas lebih real kelihatannya yaitu kalau kita melakukan perintah Allah dengan uslubul ihsan saja, salah satu uslubnya wa ahsin kama ahsanallahu ilaik, sudah barang tentu, hal jazaul ihsan illal ihsan. Kalau kita nuhsinu lin nas bima yanfa'uhum mereka pun akan yuhsinu bid da'wah bima yanfa’ul jamaah. Otomatis saja, kalau kita selalu berbuat memproduk keihsanan bima yanfa’ul islam wal muslimin. Otomatis al-muslimun yuhsinuna ilaina bima yanfaud da’wah wal jamaah. Itu otomatis.
Coba kita hitung perjalanan dakwah kita sekian puluh tahun atau sekian belas tahun. Betapa kontribusi dari al-muslimin wal muhsinun lid da’wah terasa. Di tahun pertengahan 80-an, liqaat ikhwan dan akhwat tidak diketemukan mobil bahkan motor pun jarang Sekarang tempat parkir pun sempit oleh mobil-mobil para duat, itu adalah bima ahsanallahu ilaikum. Itulah ihsan Allah kepada antum semua setelah berbuat ihsan dalam dakwah, berbuat itqan dalam dakwah, sehingga orang-orang pun ikut yuhsinuna ila da’watina wa ila jamaatina. Dulu kita untuk menyelenggarakan pertemuan semacam ini berpikir beberapa kali untuk mengeluarkan uang; sewa gedung dengan segala sarana/prasarana, karena ketidakmampuan kita. Tapi faqad ahsanallahu ilaina, karena Allah telah berbuat ihsan kepada kita, oleh karena itu sekali lagi fa ahsin kama ahsanallahu ilaih, kita tingkatkan keihsanan kita karena Allah telah terbukti meningkatkan keihsanannya kepada kita.

Ikhwan dan akhwat fillah, sudah barang tentu terkait dengan intajiyatud da’wah juga selain bima yanfaul islam wal muslimin atau bima yanfa’unnas atau bima yurdhillah (dengan membuat Allah ridha) kita pun harus berpikir juga bimaa yunasyitud da’wah, apa yang membuat aktivitas dakwah
meningkat, gairah dakwah meningkat, gelora dakwah meningkat. Sudah barang tentu kegairahan, gelora dakwa sesuatu yang fenomena bisa dirasakan atau dilihat. Jika betul-betul langkah-langkah dakwah kita memberikan manfaat kepada semua, sudah barang tentu kegairahan itu akan meningkat merata, imma qudwatan, untuk merupakan keteladanan atau juga da’m, support yang diberikan.
Ikhwan dan akhwat fillah, begitu juga bima yutsabbitul jamaah, manfaat itu dengan apa-apa yang mengokohkan kejamaahan kita. Apakah kontribusi, na'udzubillah membuat kita longgarnya kehidupan berjamaah membuat goyangnya kehidupan berjamaah na'udzubillah min dzalik. Atau kontribusi kita justru mengokohkan jamaah dan semuanya bisa dirasakan secara langsung dalam kehidupan struktural kita dan operasional kita dalam berdakwah.
Insya Allah, ikhwan dan akhwat fillah, jika kita berusaha memenuhi tuntutan-tuntutan dari soliditas jamaah, hayawiyatul harakah dan intajiyatud da’wah yang saya sebutkan tadi tantangan-tantangan yang kita hadapi, pekerjaan berat yang akan kita pikul, tanggung jawab yang luar biasa berat yang akan kita hadapi, insya Allah dengan dipikul secara amal jama’i semuanya akan terasa ringan dan terselesaikan binashrin minallah, Insya Allah.
Allahu yanshurukum wa yutsabbit aqdamakum, insya Allah. Amin ya rabbal alamin. Sekian saja kalimat dari saya, semoga tulisan ini bermanfaat....