Minggu, 08 Februari 2009
Intektual Cul-De-Sac
Setelah kran-kran kebebasan dibuka, sebagai akibat kebebasan dibuka, sebagai akibat gerakan reformasi, ada suatu struktur berpikir aneh yang diidab oleh sebagian masyarakat Indonesia. Gejalanya setidaknya bisa kita lihat dalam beberapa bentuk ekspresi. Misalnya , ketika pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak oleh MPR, sontak orang Sulawesi Selatan marah. Habibie dihimbau agar pulang saja kekampung halamannya untuk memdirikan Negara sendiri “Indonesia Timur Raya”.setelah Megawati kalah bertanding melawan Gus Dur dalam perebutan kursi Presiden, warga PDI P dengan garang melakukan kerusuhan di beberapa daerah, seperti Solo, Bali dan Jakarta. Begitu juga saat Gus Dur dilengser di tengah jalan oleh lawan-lawan politiknya, muncul kelompok pembela Gus Dur atas yang menamakan “Pasukan Berani Mati” dan seterusnya.
Dalam beberapa ekspresi di atas terlihat bahwa tampak ada gejala keterputusan dalam jalinan bangunan struktur berpikir yang dipakai sebagian masyarakat kita. Model berpikir terkesan meloncat, rancu dan bahkan irrasional. Keracuanan berpikir tersebut dalam perkembangannya kemudian memproduksi konsebsi-konsebsi dan prilaku yang secara paradigmatic sangat instant dan secara prktis membahayakan bagi kehidupan demokrasi dan keadaban.
Seperti dapat kita lihat dalam beberapa contoh kasus diatas, tidak terdapat satu pun kualitas logis dan utuh secara filosofis mendasari beberapa peristiwa yang terjadi. Yang ada tak lebih dari sebuah emosi instant yan mengakumulasi, kemudian menjadi sebuah konsebsi dan mewujud dalam praktis yang tidak mempunyai basis rasio yang kukuh dan logis, bahkan cenderung dipelintir dan dipolitisi.terlihat dimasyarakat kita gagap dengan keterbukaan dan kebebasan yang tiba-tiba didapat, sehingga munsul kekacauan dan kerancuan berpikir dan bersikap yang berbuntut anarki.
Modus dari kerancuan berpikir resebut sangat beragam, yaitu mengunakan satu kasus untuk mendukung argument yang bersifat general. Misalnya, orang meyakini bahwa Orde Baru sebanarnya sangat mendukung umat Islam. Buktinya, banyak masjid Amal Bhakti Muslim Pancasila yang dibangun oleh Presiden Soeharto. Padahal, kita bisa mengajukan contoh yang bertolak belakang yang justru lebih banyak. Ada sebagian masyarakat kita yang menggunakan otoritas sebagai argument, meskipun otoritas itu sebenarnya tidak relevan dengan objek masalah. Ada yang mengkonstruksi konsebsi yang didasarkan pada logika kepentingan (ras, suku, golongan dan agama). Buntutnya, sikap tentang kebenaran, keadilan dan demokrasi ditentukan oleh logika ”kepentingan” yang primordialistik.
Beberapa bentuk kerancuan berpikir diatas, sebenarnya merupakan penyakit yang sudah sangat lama mewabah dalam masyakat kita. Virusnya secara politis dengan halus telat tersemai sejak rezim Orba. Penyakit kekacauan berpikir itu harus segara ditangani secara serius dengan cara membangun kerangka berpikir yang logis dan filosofis dalam bentuk prilaku. Ini tentu signifikan untuk membuat arah yang benar dalam membangun kehidupan yang adil dan demikratis sesuai cita-cita remormasi.
Semua teriak ”Hidup reformasi”, tanpa tahu makna reformasi. Banyak masyarakat bukan hanya politikus kita, yang tidak mampu membedakan antara demokrasi dan anarki, antara kritik dan pelecehan, antara kebebasan dan kebablasan, antara hak dan kewajiban, antara amanat dan nikmat, antara argumentasi dan agitasi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar