Sabtu, 27 Maret 2010
Mulia Di Akhirat & Meraih Dunia dengan Ilmu
”Hidup bahagia,mati masuk syurga” yup,pasti setiap orang ingin seperti itu.Jadi apa yang dapat kita lakukan untuk mewujudkannya?
Allah Ta’ala telah mengajarkan sebuah doa dalam firmanNya:
”Wahai Rabb kami,berilah kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat” (QS.Al-Baqarah : 201)
Al-Hasan rahimahullah (wafat th. 110 H) berkata, ”Yang dimaksud kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah, dan kebaikan akhirat adalah Syurga ”Sedangkan Ibnu Wahb (wafat th.197 H) rahimahullah berkata, ”Aku mendengar Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata ”Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah syurga”
Perhatikanlah bagaimana para ulama memegang ilmu sebagai sumber kebaikan di dunia,yang dengannya dapat diraih pula kebaikan di akhirat berupa syurga.Karena itu, hal utama yang harus kita lakukan untuk mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah dengan terus menerus mengejar ilmu dengan mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ala.Ilmu yang dimaksud adlah ilmu yang bermanfaat.
Imam Ibnu Rajab (wafat th.795 H) rahimahullah mengatakan bahwa ”Ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua hal : Pertama,mengenal Allah Ta’ala dan segala pa yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Hal ini mengharuskaan adanya pengagungan, rasa takut,cinta,harap,dan tawakkal kepada Allah serta ridha terhadap takdir dan segala musibah yang Allah Ta’ala berikan.
Kedua, mengetahui segala apa yang dibenci dan dicintai Allah Azza wa Jalla dan menjauhi apa yang dibenci dan dimurkai olehNya berupa keyakinan, perbuatan yang lahir dan bathin. Hal ini emengharuskan orang yang mengetahuinya untukbersegera melakukan segala apa yang dicintai dan diridhoi oleh Allah Ta’ala dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan kedua hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat.
Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap dalam hati maka sungguh, hati itu akan tunduk dan meras patuh pada Allah Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit dari keuntungan dunia yang halal dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikannya qanaah dan zuhud di dunia.”
Rasululah Salallahu Allaihi Wasallam mendoakan orang-orang yang mendengarkan sabda beliau dan memahaminya dengan keindahan dan berserinya wajah. Beliau bersabda :
”Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengarkan sebuah hadist dari kami, lalu menghafalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Banyak orang yang membawa fiqih namun dia tidak memahami. Dan banyak orang yang menerangkan fiqih pada orang yang lebih faham darinya. Ada tiga hal yang tidak dapat dpungkiri hati seorang muslim selama-lamanya: melakukan sesuatu dengan ikhlas karena Allah, menasehati ulul amri (penguasa) dan berpegang teguh pada jama’ah kaum muslimin,karena do’a mereka meliputi orang-orang ayng berada dibelakang mereka.”
Beliau bersabda,
”Barangsiapa yang keinginannya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan kekuatannya,menjadikan kekayaan di hatinya dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina. Namun barangsiapa yang niatnya mencari dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusan dunianya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang tealah ditetapkan baginya.” (Hadist Shahih diriwayatkan oleh Ahmad (V/183),ad-Darimi(I/75),Ibnu Hibban (no 72,73-Mawarid),Ibnu’Abdil Barr dalam Jaami’Bayaanil’Ilmi wa Fadhlihi(I/175-176,no.184),lafazh hadist ini milik Imam Ahmad dari Abdurrahman bin Aban bin ’Utsman radhiyallahu’anhum)
Jadi, ayo semangat menuntut ilmu..!! supaya bahagia dunia dan akhirat, insyaAllah. Jangan lupa ikhlaskan niat pada Allah Subhanahu Wata’ala.
Israil bin Yunus (wafat th.160 H) rahimahullah mengatakan,
”Barangsiapa menuntut ilmu karena Allah Ta’ala, maka ia mulia dan bahagia di dunia.Dan barangsiapa menuntut ilmu bukan karena Allah, maka ia merugi di dunia dan akhirat.”
Dan diantara doa yang Rasulullah ucapkan adalah : ”Ya Allah, aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat,rizki yang halal, dan amal yang diterima.”
Wallahu’alam bishowab
Disarikan dari buku: Menuntut Ilmu Jalan Menuju Syurga, oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawaz
Selasa, 16 Maret 2010
Hari-Hari Penantian
Bagi seorang gadis, ada masa penantian yang acapkali menimbulkan suasana rawan, menanti jodoh. Padahal jodoh, maut dan rezeki adalah wewenang Allah semata. Tak ada sedikitpun hak manusia untuk mengklaim wewenang tersebut. Tapi, watak manusia terkadang lupa dengan janji Allah. Apalagi bila lingkungan sekitarnya terus menerus ‘memburu’nya untuk menikah, sementara jodoh yang dinantikan tak kunjung tiba. Dalam keadaan demikian, kerap muncul bermacam efek yang dapat membahayakan dirinya.
Seorang wanita akan dianggap dewasa bila ia telah mengalami menstruasi. Islam mencatat masa ini sebagai masa awal mukallafnya seorang wanita. Yang perlu diketahui, wanita sekarang menjadi akil baligh jauh lebih cepat dibanding masa dahulu. Dua puluh tahun yang lampau, wanita paling cepat mengalami menstruasi pada usia 15 tahun. Namun pada masa ini, tak jarang wanita mulai mens pada usia 11 tahun. Akibatnya, kedewasaan wanita terhadap masalah- masalah perkawinan akan meningkat secara cepat.
Keresahan mulai melanda tatkala usia sudah merangkak naik, tapi calon suami tak kunjung datang. Tanpa disadari, ada perilaku-perilaku yang mestinya tak layak dilakukan oleh seseorang yang sudah dianggap sebagai teladan dilingkungannya. Ada muslimah-muslimah yang menjadi sangat sensitif terhadap acara-acara walimah ataupun wacana-wacana seputar jodoh dan pernikahan. Ada juga yang bersikap seolah tak ingin segera menikah dengan berbagai alasan seperti karir, studi maupun ingin terlebih dulu membahagiakan orang tua. Padahal, hal itu cuma sebagai pelampiasan perasaan lelah menanti jodoh.
Sebaliknya, ada juga muslimah yang cenderung bersikap over acting. terlebih bila sedang menghadiri acara-acara yang juga dihadiri lawan jenisnya. Ia akan melakukan berbagai hal agar “terlihat”, berkomentar hal-hal yang nggak perlu yang gunanya cuma untuk menarik perhatian, atau aktif berselidik jika mendengar ada laki-laki (ikhwan) yang siap menikah. Seperti halnya wanita dimata laki-laki, kajian dengan tema “ikhwan” pun menjadi satu wacana favorit yang tak kunjung usai dibicarakan dalam komunitas muslimah.
Data yang terlihat dibeberapa biro jodoh juga menambah daftar panjang fenomena yang menggambarkan betapa kaum Hawwa sangat dihantui masalah-masalah rawan yang membuat kita berpikir panjang dan harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Tentang hal diatas, Al qur’an dengan apik mengisahkan ketidakberdayaan seorang wanita menghadapi masa penantian. “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali …” (QS. An Nahl:92).
Pernikah memang bukan fardhu. Tidak ada dosa atas seseorang yang tidak menikah selama ia memang tidak menentang sunnah Rasul ini. Jadi, sekarang atau nanti kita menikah, bukanlah problem utama. Yang terpenting adalah bagaimana mengisi masa-masa penantian ini dengan hal-hal yang positif ataupun aktifitas yang berkenaan dengan persiapan pra nikah.
Persiapan berawal dari hati. Kebersihan hati akan membuat seseorang tenang dalam melangkah. Istilah “perawan tua” tidak akan menggetarkan perjalanannya dan membuat dia berpaling dari jalan dakwah. Kalaupun tak berjodoh di dunia, bukankah Allah akan menggantikannya di akhirat kelak sesuai dengan tingkatan amalnya?
Kebersihan hati juga akan sangat menentukan sikap qona’ah (ikhlas menerima dan merasa cukup) terhadap pemberian Allah. Sehingga ia dengan senang hati menerima, jika sekiranya Allah memberinya jodoh seseorang yang secara fisik (selain agama) tidak sesuai harapannya, agar tidak kaget melihat standar kebahagiaan yang diluar bayangannya.
Orang tua dan keluarga juga perlu dikondisikan, agar mereka tidak menyalahkan Islam. Banyak orang tua yang beranggapan bahwa jilbab adalah yang selama ini menjadi penghalang anaknya tidak mendapatkan pasangan.
Selain itu, bersabar dan berdo’a nampaknya merupakan kunci mutlak untuk menstabilkan moral (akhlaq). Dengan kesabaran, ada pintu-pintu yang terbuka yang barangkali tak terlihat ketika kita sedang sempit dada. Dengan do’a, ada jalinan mesra dengan Sang Pemilik. Mungkin tidak saat itu juga do’a-do’a kita akan segera dikabulkan, tetapi bukankah do’a adalah ibadah? Jadi, semakin banyak do’a terucap, semakin banyak pula ibadah dilakukan.
Buat para muslimah yang baru saja menikmati keindahan meneguk bahtera rumah tangga, tampaknya ada sikap yang harus dilakukan untuk menjaga perasaan muslimah yang belum menikah. Istri-istri baru itu, biasanya senang “mengompori”. Sebenarnya sikap ini sah-sah saja, agar tampak bukti bahwa menikah tanpa pacaran, menikah dalam rangka dakwah adalah “pengorbanan” yang menyejukkan. Tapi jika hanya sekedar memanasi tanpa solusi, sebaiknya sikap seperti itu ditahan. Apalagi jika si muslimah itu tidak siap dengan cerita-cerita seputar nikah itu, bisa jadi akan memedihkan perasaannya.
Namun demikian, lain halnya dengan muslimah-muslimah yang ‘bandel’, yang dengan berbagai alasan kerap menolak untuk menikah meski seharusnya sudah siap. Baik tuntutan dakwah maupun tuntutan lainnya.
Menikah adalah ibadah. Tapi, ia bukan satu-satunya ibadah. Masih banyak alternatif ibadah yang bisa dilakukan. Alangkah naifnya bila kita malah banyak membuang waktu untuk memikirkan masalah pernikahan yang tak kunjung juga teralami. Masih banyak pekerjaan dan hal lain yang membutuhkan penyaluran potensi kita. Mumpung masih gadis, optimalkanlah potensi diri. Karena kelak, jika kesibukan menjadi istri dan ibu menghampiri kita, waktu untuk menuntut ilmu, menghapal ayat Qur’an dan hadits, bahkan untuk bertemu Allah di sepertiga malam, tentu saja akan berkurang. Nah, kenapa tidak kita optimalkan sejak sekarang?
Akh, Tipis
Shalat Maghrib baru saja ditunaikan. Oleh orang-orang yang masih mau menunaikannya tentu. Seorang aktivis mencari barang kebutuhan biasa yang cukup vital baginya: jam meja dengan alarm. Lumayan, bisa membangunkan sebelum datang waktu Shubuh. Karena belum ada orang yang siap membantu membangunkan. Dan iapun mendapatkan yang dicari dengan harga yang menurutnya tidak terlalu mahal.
Baru saja turun lewat eskalator, ia menemukan ironi. Anak perempuan usia SD terlelap kelelahan di emperan. Tak punya rumah. Barangkali habis mengamen, atau mengemis seharian. Di sampingnya, sang adik belum tidur. Kira-kira 2 tahun usianya. Dekil. Kumal. Tak ada ayah ibu.
Tiba-tiba sang aktivis merasa menjadi "akh tipis". Tipis kepedulian. Tipis pembuktian. Tipis karya. Ia teringat betapa mudahnya mengeluarkan sejumlah uang kepada penjaga warnet untuk nge-browse situs yang jauh dari bermanfaat. Padahal dengan uang itu ia sebenarnya bisa meringankan rasa lapar saudaranya. Di negerinya sendiri.
Seruan tanpa teladan adalah seperti bapak yang menyuruh anaknya ke masjid sedangkan ia ada di rumah, tak sholat juga. Tidur sang "akh tipis" kini tak lagi nyenyak.
Obrolan kita di meja makan
tentang mereka yang kelaparan...
Pulanglah Sore! (Potret Bangsa Pengutang)
Di Jakarta banyak orang pulang malam. Bukan pulang sore. "Sibuk," kata mereka. Sebagian memang benar karena sibuk. Sebagian lain, mungkin 90 persen, ingin dianggap sibuk.
Kesibukan utamanya baru mulai selepas makan siang. Sebagian besar untuk rapat. Menurut teori, rapat yang baik adalah yang ringkas. Cukup 30 menit hingga sejam. Namun 'orang-orang sibuk' selalu mampu mengadakan rapat hingga tiga jam.
Itu belum termasuk perbincangan panjang setelahnya. Katanya, perbincangan itu membahas iklim bisnis yang sedang berkembang. Juga soal konsep pengembangan produk atau usaha, bahkan juga politik. Hanya bila ada waktu tersisa, baru menangani pekerjaan teknis.
Setelah matahari terbenam, orang-orang pun memindahkan kantor ke kafe-kafe. "Bisnis adalah lobi," kata mereka. Kafelah tempatnya. Kafe juga menjadi standar gaul mereka yang menganggap diri "eksekutif". Termasuk yang baru setahun dua tahun kerja, dan masih memakai mobil milik orang tua.
Lalu seberapa efisien untuk kerja pagi? "Kita 'kan sibuk sampai malam. Jangankan untuk produktif, kerja pagi pun susah."
Bagi Sumarno --seorang nelayan sukses asal Jepara-- dunia yang dijalani para 'eksekutif muda' di Jakarta sungguh merupakan dunia ilusi. Omzet bisnis Sumarno mencapai Rp 3 miliar sebulan. Baginya, kerja, ya, kerja. Bukan rapat dan berdiskusi melulu. Baginya, pendapatan, ya, ditabung dan untuk membantu sanak keluarga serta masyarakat sekitar. Bukan dihabiskan di kafe dan mal.
Dengan tingkat penghasilannya, ia sudah sangat bangga menggunakan Opel Blazer. Warga Jakarta, dengan penghasilan pas-pasan sekalipun, bahkan rela untuk berutang demi mendapatkan mobil yang lebih mewah. Sumarno hampir pasti tak memegang kartu kredit. Di Jakarta, semua berlomba menggunakan kartu kredit. Kartu kredit itu dipakai terutama bukan untuk memudahkan pembayaran, namun untuk gali lubang tutup lubang. Jangan tanyakan berapa saldo mereka yang tersisa di bank.
Jakarta jantung Indonesia. Jangan heran bila negara ini punya perilaku yang sama dengan warga Jakarta: bokek, namun suka gali lubang tutup lubang. Warga Jakarta merasa tidak dapat hidup kalau tidak mempunyai tagihan utang yang harus dipenuhinya. Demikian pula
Republik kita tercinta ini.
Negeri ini punya setumpuk utang. Tumpukan itu yang menjadi alasan untuk mengajukan utang berikutnya. Seolah tidak ada bangsa di dunia ini yang dapat hidup dan berkembang tanpa utang. Cina sukses bukan dengan mengutang, tetapi dengan menggali kekuatannya sendiri. Kekuatan kita memang masih jauh di bawah Cina, namun apakah benar bangsa kita tak lagi punya apa-apa termasuk harga diri?
"Tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah," sabda Sang Rasul. Kita akan jauh lebih mampu untuk bangkit bila tidak menengadahkan tangan. Syaratnya hanya kesediaan kita berkorban meninggalkan kebiasaan ikut-ikutan mendapatkan kesan 'wah' untuk kembali
hidup realistis seperti Sumarno.
Mari kita bangun dari tertidur dalam ilusi. Pulanglah sore. Nikmati suasana senja di beranda rumah sendiri. Mulailah bekerja lebih pagi. Bila merasa gengsi belajar dari Sumarno, tengoklah Singapura. Negara itu memajukan sejam patokan waktu negerinya. Maka, mereka lebih mampu memberi utang ketimbang berutang.
Kesibukan utamanya baru mulai selepas makan siang. Sebagian besar untuk rapat. Menurut teori, rapat yang baik adalah yang ringkas. Cukup 30 menit hingga sejam. Namun 'orang-orang sibuk' selalu mampu mengadakan rapat hingga tiga jam.
Itu belum termasuk perbincangan panjang setelahnya. Katanya, perbincangan itu membahas iklim bisnis yang sedang berkembang. Juga soal konsep pengembangan produk atau usaha, bahkan juga politik. Hanya bila ada waktu tersisa, baru menangani pekerjaan teknis.
Setelah matahari terbenam, orang-orang pun memindahkan kantor ke kafe-kafe. "Bisnis adalah lobi," kata mereka. Kafelah tempatnya. Kafe juga menjadi standar gaul mereka yang menganggap diri "eksekutif". Termasuk yang baru setahun dua tahun kerja, dan masih memakai mobil milik orang tua.
Lalu seberapa efisien untuk kerja pagi? "Kita 'kan sibuk sampai malam. Jangankan untuk produktif, kerja pagi pun susah."
Bagi Sumarno --seorang nelayan sukses asal Jepara-- dunia yang dijalani para 'eksekutif muda' di Jakarta sungguh merupakan dunia ilusi. Omzet bisnis Sumarno mencapai Rp 3 miliar sebulan. Baginya, kerja, ya, kerja. Bukan rapat dan berdiskusi melulu. Baginya, pendapatan, ya, ditabung dan untuk membantu sanak keluarga serta masyarakat sekitar. Bukan dihabiskan di kafe dan mal.
Dengan tingkat penghasilannya, ia sudah sangat bangga menggunakan Opel Blazer. Warga Jakarta, dengan penghasilan pas-pasan sekalipun, bahkan rela untuk berutang demi mendapatkan mobil yang lebih mewah. Sumarno hampir pasti tak memegang kartu kredit. Di Jakarta, semua berlomba menggunakan kartu kredit. Kartu kredit itu dipakai terutama bukan untuk memudahkan pembayaran, namun untuk gali lubang tutup lubang. Jangan tanyakan berapa saldo mereka yang tersisa di bank.
Jakarta jantung Indonesia. Jangan heran bila negara ini punya perilaku yang sama dengan warga Jakarta: bokek, namun suka gali lubang tutup lubang. Warga Jakarta merasa tidak dapat hidup kalau tidak mempunyai tagihan utang yang harus dipenuhinya. Demikian pula
Republik kita tercinta ini.
Negeri ini punya setumpuk utang. Tumpukan itu yang menjadi alasan untuk mengajukan utang berikutnya. Seolah tidak ada bangsa di dunia ini yang dapat hidup dan berkembang tanpa utang. Cina sukses bukan dengan mengutang, tetapi dengan menggali kekuatannya sendiri. Kekuatan kita memang masih jauh di bawah Cina, namun apakah benar bangsa kita tak lagi punya apa-apa termasuk harga diri?
"Tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah," sabda Sang Rasul. Kita akan jauh lebih mampu untuk bangkit bila tidak menengadahkan tangan. Syaratnya hanya kesediaan kita berkorban meninggalkan kebiasaan ikut-ikutan mendapatkan kesan 'wah' untuk kembali
hidup realistis seperti Sumarno.
Mari kita bangun dari tertidur dalam ilusi. Pulanglah sore. Nikmati suasana senja di beranda rumah sendiri. Mulailah bekerja lebih pagi. Bila merasa gengsi belajar dari Sumarno, tengoklah Singapura. Negara itu memajukan sejam patokan waktu negerinya. Maka, mereka lebih mampu memberi utang ketimbang berutang.
Rabu, 10 Maret 2010
Integrasi Politik dan Dakwah
Dulu, saat awal ketika kita belum membuat partai, sebenarnya cukup mengenakkan kalau kita menjadi gerakan dakwah yang terbatas. Berada di
lingkungan yang baik secara terus menerus, cerdas, berpendidikan tinggi, punya komitmen agama yang bagus serta lingkungan yang memberikan
kenyamanan yang luar biasa.
Tapi, waktu kita membuat partai, seakan-akan kita keluar dari comfort zone. Zona nyaman, yaitu lingkungan orang shalih sepertinya terpecah,
karena mulai dimasuki oleh orang-orang yang setengah shalih dan tidak shalih. Ruang lingkup pergaulan kita menjadi sangat luas. Sekarang kita
bertemu dengan keadaan yang mungkin tidak nyaman secara psikologis.
Politik ini memberikan kita jadwal hidup yang sangat ketat karena ada pemilu 5 tahunan. Kita selalu mengukur kinerja setiap waktu karena ada
banyak momentum. Kalau bukan kita yang mengukur kinerja kita maka orang lain yang mengukur kinerja kita. Sejak kita memutuskan untuk membuat partai, berarti kita membuka diri kita untuk diukur juga oleh orang lain. Dan itu membuat jadwal aktivitas kita menjadi sangat padat.
Sehingga kita harus belajar untuk bekerja dengan rileks dalam keadaan stress berkepanjangan. Itu salah satu pelajaran penting yang kita peroleh secara tarbawiyah setelah kita membuat partai.
Sebenarnya ada pelajaran lain, bahwa ktia harus bisa belajar berbeda pendapat secara rileks juga. Banyak pendapat, banyak ketegangan, tapi
kita harus mampu menghadapinya secara rileks.
Ikhwah sekalian.
Saya ingin menyampaikan beberapa hal untuk membangun frame kita, khususnya terkait kerja-kerja tarbiyah dalam kontek amal siyasi. Sejak harakah ini didirikan , konsep awal tentang kehidupan yang ingin kita bangun adalah sebuah kehidupan islami yang integral dan komprehensif, dengan tidak membuat pemisahan-2 antara seluruh aspeknya. Oleh karena itu , sejak awal konsep integrasi ini menyebabkan harakah ini selalu berhadapan dengan sekulerisme yang memisahkan antara politik, negara dan agama.
Kita tahu dengan baik jargon yang dibuat Imam Hasan Al-banna, bahwa islam adalah dinun wa daulah (agama dan negara) sekaligus. Jadi kita menganut konsep integrasi dari awal. Tetapi konsep integrasi ini bukan hanya ada pada integrasi antara negara dan agama saja, namun juga antara
dakwah dan politik. Itu sebabnya 10 tahun setelah Imam Hasan Al-Banna mendirikan jamaah dakwahnya, beliau langsung mendeklarasikan untuk memasuki era jahriiyah (era keterbukaan) dan ikut terlibat dalam aktivitas politik.
Sekarang tidak ada jalan bagi kita untuk menyatukan agam dan negara kecuali apabila kita mengambil bagian dalam aktivitas politik itu. Dan, sekarang ini, dalam sistem demokrasi, jalur orang untuk sampai kepada seluruh otoritas penting dalam negara hampir menjadi jalur tunggal, yaitu lewat partai politik.
Oleh karena itu, sekarang orang baru menyadari betapa besarnya peranan partai politik dalam menentukan arah kehidupan kita. Orang tidak boleh
jadi gubernur kecuali kalau di dapat mandat dari partai politik. Memang ada pemilihan langsung, tetapi yang mendaftarkan harus partai. Kemudian
memang ada calon independen, tetapi aturannya belum selesai, dan tidak benar-benar independen.
Oleh karena itu, untuk memperbesar akses harakah ke dalam negara itu jalannya cuma satu, yaitu memperbesar partai politiknya atau kendaraannya, atau kanalnya, yaitu partai politik. Apabila kanalnya besar, flow, arus yang akan masuk ke negara juga semakin besar.
Mengapa dulu birokrasi dikuasai Golkar? Ya, karena flow yang dibuatnya memang kanalnya besar. Bila kita mau masuk kesana, mesti membuat kanal
besar bagi dakwah. Mengapa selama ini harakah terpinggirkan di banyak negara? Karena tidak ada kanalnya. Oleh karena itu, saya mengatakan
bahwa lompatan pertama kita pada tahun 1999 adalah lompatan dari luar ke dalam.
Dulu kita dianggap OTB (organisasi tanpa bentuk). Antum bayangkan, orang-orang shalih yang terpilih diantara umat ini, kita memilih orang-orang shalih setengah mati, kita merekrut mereka dengan kriteria anasir taghyir (memiliki unsur perubah), kita pilih orang-orang hebat semuanya ditengah masyarakat dan kita masih dianggap sebagai orang aneh. Begitu kita membuat partai, kita melompat dari luar sistem ke dalam sistem dan itu memberikan kita banyak keleluasaan baru.
Begitu suara kita menguat pada tahun 2004, saya menyebut lompatan kedua ini sebagai lompatan eksistensi. Kita dianggap sebagai satu kekuatan
politik baru yang sangat disegani di negeri kita saat ini, karena kanal yang kita ciptakan ini makin besar. Sehingga arus orang yang masuk ke
otoritas negara itu makin banyak.
Misalnya kita lihat pada tahun 1999, akhwat kita yang ada di parlemen kita cuma satu orang, tetapi sekarang ini ada 72 orang. Artinya, di
jamaah dakwah kikta ada 72 suami yang istrinya bekerja di parlemen dan setiap hari para suami itu ditinggal istrinya. Kalau dulu kita
meninggalkan istri sekarang kita mulai ditinggalkan istri. Quota 30% masih akan terus berlaku. Tahun 2009 nanti jumlah akhwat yang masuk ke parlemen kita akan makin banyak. Lalu, kita punya 1 menteri, menteri ini membawa gerbong, bukan hanya gerbong birokrat tetapi juga gerbong
pengusaha.
Coba antum lihat, betapa banyak yang berubah begitu kanal ini membesar. Karena antum punya otoritas mencalonkan orang sebagai gubernur, maka
orang mau bayar antum semua, supaya dia jadi gubernur. Oleh karen itu, ada banyak bisnis di dalamnya, seperti aktifitas tarbiyah hari ini,
sudah mulai dikelola dengan cara bisnis. Ini sudah benar jalannya. Itu merupakan efek kanal yang kita ciptakan makin besar dan mempunyai efek
dalam menciptakan lapangan kerja baru.
Level integrai ketiga yang perlu kita waspadai karena kita belum mengenal dengan baik tabiatnya adalah integrasi aktivitas tarbawi dan
aktifitas siyasi. Ini mungkin pengaruh dari dikotomi yang sebelumnya terjadi. Padahal, dua tahun terakhir ini, ada lebih dari 200 pilkada
yang berlangsung. Itu berarti hampir per tiga hari ada satu pilkada.
Kebanyakan orang mengeluh pada dua tahun ini, bahwa pertumbuhan kader kita menjadi lambat. Bahkan, di DPP, ketika sekretariat melaporkan
pertumbuhan kader tahun lalu minus, Presiden PKS keberatan,”Kok bisa minus? Ini gak mungkin.” Padahal itu laporan dari Wilayah. Kemudian
Bidang Kaderisasi membuat evaluasi lagi di beberapa Wilayah, lalu ada pertambahan sedikit.
Setelah kita lihat, ternyata salah sebabnya adalah kebingungan mengintegrasikan pekerjaan, karena terlalu banyak pekerjaan sekaligus.
Pekerjaan ini belum dikelola dengan suatu pendekatan integrasi. Sebagai contoh, kalau orang luar melihat PKS, orang akan melihat PKS ini partai
baru, dana kecil, tapi aktivitas partainya besar. Loadnya luar biasa penuh, tidak ada kosongnya.
Semua teman-teman diluar PKS kalau bertemu saya, selalu bertanya satu hal,”Bagaimana keuangan PKS? Saya kemana mana ke daerah bertemu dengan PKS, dimana mana ada PKS. Jalan terus, begitu kerjanya tidak berhenti-berhenti. ” Ini adalah load pekerjaan yang luar biasa besarnya.
Integrasi ini terkait masalah efektifitas dan efisiensi dalam melakukan pekerjaan besar dengan usaha yang seminimal mungkin. Sebagai contoh, ada banyak aktifitas kita di internal ini sebenarnya menggunakan sangat banyak orang, sangat banyak waktu, banyak dana, juga menyentuh sangat
banyak publik. Kemudian hal ini sama sekali tidak mendapatkan liputan apa apa di media. Akan tetapi, bila dari awal kita punya pandangan yang terintegrasi maka itu akan sangat berbeda.
Contoh lain seperti aktifitas mukhayam (kemah). Antum lihat, berapa banyak tenaga yang kita keluarkan untuk aktifitas yang kita kerjakan?
Harinya panjang, jumlah pesertanya banyak, kalau dikelola dalam satu kemasan, efek pelatihan tarbawi yang diharapkan dari mukhayam itu tetap
dapat diperoleh dengan tetap mendapatkan liputan media yang luas. Tetapi ini belum kita kelola.
Kemarin coba antum bayangkan waktu kita mengubahnya di Cibubur. Berapa banyak pekerjaan yang dapat diselesaikan sekaligus? Karena kita mulai mengintegrasikan. Jangan sampai nanti orang media hanya bekerja mengiklankan PKS kalau ada Muharram, kalau ada Milad atau kalau ada
Ramadhan saja, baru itu yang dinamakan aktifitas media, sedangkan aktifitas tarbawi tidak ada liputannya. Padahal sebenarnya ini justru
aktifitas yang punya nilai jual yang luar biasa bagi orang-orang luar.
Antum lihat, orang-orang yang berminat terhadap petualangan itu kan banyak. Sekarang acara petualangan di tv itu laris dan ratingnya tinggi.
Kenapa pada sisi ini sebagai partai orang muda, tidak kita jadikan kekuatan. Pesona PKS yang bisa punya daya gugah dan daya rekrut bagi
orang luar, bahwa partai ini mencanangkan suatu pola hidup yang sehat dan ingin membangun generasi muda yang kuat. Hanya dengan mengubah
sedikit cara melakukannya untuk membuat suatu happening art yang bagus, membuat suatu release yang bagus, sedikit packaging yang bagus, maka
semuanya akan berbeda hasilnya.
Antum tidak akan kehilangan sedikitpun efek tarbawiyah yang ingin kita capai apabila kita mampu mengintegrasikannya . Menurut saya, level
integrasi ketiga ini perlu dipelajari. Pilkada ini adalah salah medan uji cobanya. Waktu kita merancang strategi di DPW untuk pemenangan
Pilkada ini, dari awal saya menekankan : “Masukkan satu poin di grand strategy di DPW untuk pemenangan pilkada ini, bahwa syarat untuk memenangkan DKI Jakarta adalah dengan meningkatkan kapasitas, kinerja dan citra PKS, sebagai partai utama.”
Makin besar partai ini, makin mudah kita menyosialisasi calonnya. Kita bisa menggaransi bahwa sebab kemenangannya 70% lebih adalah oleh
jaringan ini. Oleh karena itu, jaringan ini perlu diperbesar strukturnya maupun jumlah kadernya. Implikasinya apa? Semua target kaderisasi
masukkan di target pilkada.
Jadi untuk memenangkan pilkada ini, kitta memerlukan 162 ribu kader baru untuk mencukupi angka total 200.000 kader di DKI dan dengan demikian
jika target kita adalah 2 juta suara, maka satu kader harus merekrut sepuluh suara. Insya Allah hal ini efektif untuk mencapai target itu.
Implikasi selanjutnya pada budgeting.
Antum lihat flow kegiatan itu akan lebih lancar ketika dia diintegrasikan. Sehingga manajemennya menjadi lebih sederhana, jauh lebih efektif dan efisien. Selain itu, dengan integrasi ini ada efek lanjutan, yaitu memperbesar aset kita dan kemampuan kapitalisasi kita.
Antum lihat suara partai-partai islam di Indonesia sepanjang sejarahnya tidak pernah lebih dari 45%. Artinya apa? Artinya afiliasi ideologi
orang-orang islam indonesia masih ke ideologi sekuler.
Ini artinya semua gerakan dakwah yang pernah ada di Indonesia, ternyata tidak berhasil, padahal ormas-ormas dakwah seperti Muhammadiyah, NU jauh lebih tua dari Republik Indonesia ini. Apa yang menjelaskan PAN yang lahir dari Muhammadiyah Cuma dapat segitu suara? Apa yang menjelaskan
PKB yang lahir dari NU Cuma dapat segitu suara? Bahkan kalau digabung misalnya dengan PPP tetap saja sedikit jumlah suaranya.
Artinya gerakan dakwah ini dari awal menganut pemisahan antara dakwah dan politik. akibatnya dia tidak bisa mengkapitalisasi aset-asetnya.
Bahkan sekarang kita lihat ada pendekatan yang intensif dari PDIP ke Muhammadiyah, dan dari Muhammadiyah ke PDIP.
Kendala harakah islamiyah dalam upaya menjadi partai besar , salah satunya adalah ketidakmampuan mengintegrasikan program-programnya.
Sehingga selalu ada dua arus dalam jamaah dakwah, yaitu arus orang-orang tarbawi dan arus orang-orang politik. itu tidak bagus, tidak sehat, dan tidak benar-benar manhaj. Orang-orang tarbawi mengatakan,” Sudahlah, aktifitas kita sekarang sudah terlalu banyak politik. orang-orang sudah tidak memperhatikan lagi tarbiyah.”
Jadi seharusnya kita tidak pernah menganut pemisahan seperti itu. Attarbiyun, ‘assiyasiyun. Itu semua satu pekerjaan. Semua namanya
dakwah. Semua pekerjaan ini sama untuk membangun aset kekuatan umat. Dengan mentarbiyah, kita membangun aset orang, dengan politik kita
membangun aset kekuasaan. Hal ini tidak ada yang perlu dipisah-pisahkan lagi. Tetapi di banyak negara, penyakit ini bisa membesar, seperti di
negeri kita juga. Kalau tidak segera merubahnya maka orang-orang tarbiyah akan merasa lebih nyaman, merasa hidup lebih tenang, lebih
khusyuk dan sedikit merasa lebih religius dan lebih ikhlas dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang terlalu aktif di politik. kini ada satu
gejala yang buruk dan tidak sehat dalam tarbiyah. Penting bagi kita untuk mengamatinya. Ada orang-orang yang merasa gagal di alam kenyataan, kemudian lari ke alam spiritual yang sedikit rada maya.
Dalam soal dana, misalnya, banyak orang mengatakan, “Sudahlah kita ini orang di DPR gak usah dibebankan cari dana untuk dakwah. Kita akan
melaksanakan tugas dan tinggal kontrol kita saja.” Bisa jadi bukan karena ingin lempeng saja, Cuma mereka tidak mampu cari dana, tetapi
kemudian mengcover ketidakmampuan dengan berbagai alasan. Orang-orang ini seolah-olah ingin mengatakan, bahwa jumlah barang halal jauh lebih sedikit dari jumlah barang yang haram. Logikanya adalah “Kalau yang halal itu lebih sedikit dari yang haram, terus kenapa islam menyuruh
kita kaya?”
Sebenarnya dia tidak ingin mengatakan itu. Tapi karena beberapa alasan. Pertama : dia tidak memahami manhaj dengan baik. Kedua : ada sesuatu
yang disembunyikan di hati, yaitu ketidakmampuannnya. Ini juga gejala tarbawi yang tidak sehat.
Dalam soal aktifitas tarbiyah, ada juga gejala tidak sehat dari orang-orang yang tidak punya basis tarbawi yang bagus ketika kemudian
terjun ke politik. ini harus diakui. Atas nama kesibukan di DPR dan DPRD dan seterusnya, akhirnya dia banyak ghaib di liqo’ pertemuan rutin
kader, tidak lagi mentarbiyah, akhirnya secara ruhiyah dia kering dan semuanya kering. Hal itu kadang sebenarnya bukan karena aktifitas
politik. sebelum terlibat di dalam politik pun orang-orang seperti ini sudah kering.
Ini rada rada mirip dengan perkataan Ali bin Abi Thalib saat pasukan Muawiyah dalam perang Shiffin mengangkat mushaf mengajak perdamaian.
Susah ditolak. Orang mau damai pakai Al-quran susah ditolak, meski ada niat lain dibaliknya. Ali memahami dengan baik niat itu. Maka ia
mengatakan,” Ini adalah kata yang benar tapi tujuannya adalah kebatilan.” Jadi kita mengungkap sesuatu yang terlihat nyata, tapi sebenarnya tidak.
Kemarin Syaikh Qardhawi berdoa di Masjid Istiqlal. Ada satu isi doanya, saya baru dengar itu dan memberikan saya inspirasi. Beliau
mengatakan,” Ya Allah hindarkan ibadah-ibadah kami dari riya, hindarkan hidup kami adri tanaqudh (paradoks).” Hidup yang paradoks itu karena
hal-hal begini. Seperti kita menyembunyikan sesuatu dalam hati kita, dan kita cover dengan bungkus-bungkus yang katanya manhaji.
Pemahaman ini diperlukan oleh para manajer-manajer tarbiyah ini, agar dapat mengelola dengan baik aktifitas ini, supaya tidak ada lagi
pemisahan.
Kalau antum lihat rutbah tarbawiyah (level keanggotaan) kita, level paling bawah adalah pemula (tamhidi), diatasnya ada muayyid. Piramidanya
selalu mengecil, semakin keatas itu semakin mengecil. Jadi biasanya rasionya 1/5 atau kalau tidak 1/10. dua level paling bawah ini kita
sebut sebagai kader pendukung. Sedang kader inti ada pada 4 level keatas.
Saya ingin antum memahami falsafah manhaji pada sistem keanggotaan dalam perspektif strategy pergerakan. Anggota Madya (muntasib) konsepnya adalah orang-orang yang sudah memahami dakwah ini dengan baik, memahami islam dengan baik, berperilaku islami dan sudah terlibat dalam sebagian besar aktifitas dakwah ini dengan baik. Intisab artinya tergabung, dia mengetahui sudah bergerak dan tergabung di dalam jamaah dakwah ini.
Kemudian satu tingkat di atasnya Anggota Dewasa (muntanzhim) , yang terjemahannya artinya terstruktur. Dia bkan sekadar berada atau tidaknya
di mihwar dakwah, tapi dia sudah menjadi operator utama mihwar. Satu tingkat lagi adalah anggota ahli, lalu purna (takhassus).
Kira-kira kalau dalam hirarki militer itu ada yang takhassus ini namanya komandan, yang anggota ahli (amilin) ini namanya pasukan khusus.
Kemudian yang muntanzhim itu pasukan strategisnya, yang muayyid ke bawah yang prajuritnya. Maka lapisan terkecil dari ummat adalah takhassus.
Lapisan terluranya ada muhibbin, ada ummat dan terakhir lapisan terluarnya adalah al qaum. Semakin antun di tengah maka semakin antum
ada di titik pusat yang menentukan arah pergerakan umat.
Antum yang sudah jadi amilin sudah berada di titik pusat. Jadi dengan konsep ini, antum bisa mengetahui bahwa sebagian besar beban ini dipikul
oleh orang yang makin ke dalam. Karena beban yang akan kita pikul semakin berat, maka syarat janji setianya juga semakin berat. Bukan pada
kompetensi, tapi pada derajat atau bobot kesetiannya, karena amanah umat yang berat ini hanya orang-orang yang benar-benar setialah yang bisa
memikul beba ini. Ini adalah konsep pertama.
Konsep yang kedua, Jamaah Dakwah ini dibangun dengan 4 basis, yaitu :
1. Qaidah harakiyah (basis pergerakan), maksudnya mereka inilah yang mengoperasikan gerakan dakwah ini.
2. Qaidah fikriyah (basis pemikiran ), terdiri dari para pemikir, para perancang, para ulama dan para intelektual.
3. Qaidah siyasiyah (basis politik), terdiri pada pimpinan-pimpinan (qiyadah) pengambil keputusan dan penentu kebijakan.
4. Qaidah sya’biyah (basis massa).
Jadi kader kita ini, semuanya ada di kategori Qaidah harakiyah, Qaidah Fikriyah dan Siyasiyah. Karena itu lapisan terbawah dari dakwah adalah
umat. Dari umat ini kita merekrut orang terbaik untuk naik ke Qaidah Harakiyah, dari Qaidah Harakiyah ini kita rekrut lagi yang terbaik dan
naik ke Qaidah fikriyah. Kemudian dari qaidah fikriyah kita rekrut lagi yang terbaik untuk naik ke Qaidah Siyasiyah. Hal yang membedakan mereka
dalam level kepemimpinan biasanya adalah dalam soal wawasan.
Dari mana kita merekrut ini semuanya? Kalau kader harakiyah itu adalah kader dengan enma ruthbah tarbawiyah itu tadi, maka tentu saja Qaidah
Fikriyah dan Qaidah Siyasiyah ini diambilnya dari enam level tadi. Tentu saja Qaidah Fikriyah and Qaidah Siyasiyah itu paling mungkin diambil
dari orang yang ruthbahnya paling atas dan itu yang paling mungkin. Makanya ketua DPD sebaiknya kader inti, karena sudah dalam level Qaidah
Siyasiyah.
Ikhwah sekalian.
Kalau piramida keanggotaan kita ini tidak terisi dengan bagus, maka nanti sumber daya rekrutmen kita untuk mengirim basis-basis kepemimpinan
kita dalam umat ini tidak akan terpenhi. Tujuan kita untuk menjadi Qiyadatul ummah (pemimpin umat) ini tidak akan tercapai. Karena stoknya
tidak tersedia. Apabila stoknya tidak tersedia maka akan ada suatu ancaman. Yaitu, kalau kita mencapai keberhasilan poltik, misalnya,
tetapi tidak ada stok maka kita terpaksa melakukan transaksi dengan orang lain. Karena ada stok kompetensi yang tidak kita miliki tapi
dimiliki orang lain. Itu membahayakan kemampuan kontrol kita.
Jadi seandainya nanti kita dapat 20% dan karena itu kita mempunyai hak untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, misalnya, dan setelah itu
kita menang, bagaimana kita mengatur negara ini?
Kalau hierarki ini tidak terpenuhi, maka dampaknya akan terjadi ketika kita mencapai lompatan-lompatan politik. kalau tidak sejalan
pertumbuhannya, maka akan menyebabkan bahaya yang besar. Itu baru tentang kontrol atas pemerintahan. Kalau kita bicara tentang kontrol
atas umat, seandainya kita mempunyai otoritas, tapi umat kita pada dasarnya belum terdakwahi dengan baik, ini juga bahaya. Dalam strategi
dakwah, kalau masuk ke alam demokrasi, begitu kita naik dan berkuasa, kita tidak mungkin langsung mengatakan,” Kita mau menerapkan sistem
Islam. Tidak begitu prosedurnya. Tetapi kita harus mengikuti prosedur demokrasi. Harus ada tuntutan dari rakyat. Kalau rakyatnya tidak
menuntut, bahkan menentang, maka kita tidak bisa mengetuk palu.
Itulah yang terjadi pada waktu Muhammad Natsir menjabat sebagai Perdana Menteri. Dia tidak bisa berbuat apa apa , karena umatnya belum siap.
Oleh karena itu, penentuan target jumlah kader itu sebenarnya berangkat dari rasio pengendalian kita atas umat. Itulah sebabnya, kenapa jumlah
kader kita harus banyak, karena jumlah penduduk umat kita di indonesia juga besar.
Berapa besar dari umat ini yang dapat dikendalikan oleh 2 juta kader? Berapa rasio pengedalian kader per umat. Misalnya Cuma 20%. Satu kader
20, misalnya. Maka kalau kita punya 2 juta suara, ternyata yang bisa kita kendalikan Cuma 40 juta umat. Itu angka yang bagus tapi tidak cukup
untuk mengcover seluruh masyarakat di negara yang sangat luas seperti Indonesia ini.
Yang namanya masyarakat islami dalam pengertian yang kuantitatif, adalah apabila jumlah orang shalihnya mencapai 50 plus 1% lebih banyak, jika
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak shalih.
Ukuran kesalehan itu setidak-tidaknya ada 3, yaitu :
1. Memiliki afiliasi ideologi, karena itu adalah hakekat dari aqidah
2. melaksanakan semua fardhu ‘ain, khususnya Rukun Islam.
3. Meninggalkan semua dosa-dosa besar, khususnya yang bersifat pidana.
Kalau dosa menengah dan kecil itu susah. Termasuk juga untuk kader inti. Karena itu ada mekanisme pengampunan rutin untuk dosa berjalan. Seperti melalui wudhu, berjalan ke mesjid, shalat berjamaah dan lain lain. Supaya – istilah orang akuntansi – neracanya seimbang.
Jadi, sekali lagi, ini menyangkut masalah mengendalikan keshalihan umat. Itulah fungsinya jumlah kader. Oleh sebab itu mengapa kader mesti kita
angkat kualitas hidupnya jauh lebih tinggi daripada umat, karena hanya dengan itu dia mampu mengendalikan umat. Karena dengan itu dia bisa jadi
Qiyadah di tempatnya masing-masing.
Ada faktor ketiga dari rasio ini selain pengendalian negara dan pengendalian umat, yaitu apabila kita menghadapi keadaan paling buruk.
Ada satu fakta yaitu begitu kita berkuasa, ternyata kita tidak bisa bermimpi untuk langsung melakukan dan membangun ekonomi, mensejahterakan
rakyat dan seterusnya. Begitu kita berkuasa, antum akan menemui apa yang ditemui oleh saudara kita Nurmahmudi Ismail di Depok. Digoyang terus
oleh orang.
Dalam perjalanan Rasulullah, fase pertama dari Madinah adalah marhalah(fase) meneguhkan eksistensi negara. Itu sebabnya dalam rangka
menegakkan eksistensi, negara itu digoyang dari semua arah sebanyak 48 kali pertempuran dalam 5 tahun pertama. Itu sebabnya saya menemukan
fakta-fakta bahwa pembangunan ekonomi saat itu tidak ada. Saat itu, Madinah adalah satu-satunya negara yang tidak punya bendahara. Tidak ada
kas Negara di zaman Rasulullah. Tidak ada menteri keuangan bahkan tidak ada budget. Bahkan ketika kaum muslimin yang lelah berperang dan tidak
sempat mengurusi bisnisnya serta lahan pertaniannya, mereka baru mulai berpikir, “Kapan ya kita rehat dari pertempuran ini?”.
Saya menemukan hadist-hadist lain, waktu fatimah binti Muhammad melahirkan Hasan, cucu pertama Rasulullah, Ali bin Abi Thallib
memberikannyanama Harb (perang). Itu kata yang disenangi dan macho. Tapi kata Rasulullah,” Jangan itu namanya, karena tidak bagus, ganti dengan
Hasan.” Rasulullah memberi nama yang lembut. Artinya apa? Menurut Syaikh Qardhawi, kosa kata perang itu adalah kosa kata yang paling tidak
disenangi dalam islam. Tidak ada orang yang senang dengan kata itu.
Kita sebenarnya tidak menginginkan peperangan. Tetapi kadang itu adalah keniscayaan dalam hidup yang dipaksakan kepada kita dan kita harus
menghadapinya. Itu sudah pertarungan hidup yang diciptakan oleh Allah SWT antara al-haq dan al-bathil.
Itu berarti begitu kita mengurus Negara, antum jangan bayangkan bahwa kita sudah melakukan program pemberdayaan kaum miskin, mengurangi
pengangguran, membuka lapangan kerja dan kita undang investor dari luar, tidak begitu caranya menjalankan Negara. Sama sekali tidak !
Bayangkanlah semua yang paling buruk dari yang pernah kita bayangkan. Berusahalah berpikir ada yang lebih buruk dari yang kita bayangkan. Oleh
karena itu, pada saat kita menghadapi hal-hal yang seperti itu nanti, kita tidak hanya mengandalkan semua institusi Negara, walaupun kita
mempunyai otoritas besar dalam Negara. Bagaimana kalau terjadi invasi? Saya bertemu dengan pejabat-pejabat tinggi TNI,”Pak, kalau kita diinvasi
oleh Amerika seperti Irak,berapa lama bias bertahan?” Dia bilang,”Insya Allah tidak akan lebih dari dua hari seluruh kota di Indonesia akan
dikuasai. Setelah itu kita akan masuk ke hutan dan baru memulai perang gerilya.”
Jadi jika terjadi hal-hal seperti itu, siapa yang antum andalkan? Kader. Tidak ada lagi yang lain. Itulah alasannya dalam setiap level
keanggotaan (ruthbah tanzimiyah) bukan kompetensi yang diuji, tapi derajat kesetiaan, karena sebenarnya ujiannya ada disitu.
Maka kita memahami dengan baik, begitu aktivitas tarbawiyah di dalam melemah, itu artinya kekuatan strategis akan hancur dengan sendirinya.
Artinya kita mengeropos walaupun secara politik mungkin saja kita membesar.
Kalau antum memahamai kata kunci pengendalian terhadap Negara, terhadap umat, dan terhadap keseluruhan teritori saat kita menghadapi bahaya,
antum akan mulai mengerti mengapa kaderisasi adalah kata kunci bagi pertumbuhan dan kemajuan umat, karena antum sebagai pemimpin (qiyadah)
yang ada pada lapisan terdalamnya.
Antum adalah saripatinya bangsa atau kaum ini. Kalau terjadi pelemahan disini maka lapisan-lapisan luar tidak bisa kita kendalikan. Baik dalam
kategori pengendalian terhadap Negara, pengendalian terhadap kualitas umat, maupun terhadap fungsi pertahanan strategis kalau-kalau kita
menghadapi bahaya.
Ikhwah sekalian,
Selanjutnya, poin terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, masalah pandangan futuristic ke depan. Berdasarkan hasil analisa situasi politik
sekarang, saya merumuskan bahwa di masa yang akan datang, partai-partai yang bisa bertahan adalah yang memiliki beberapa karakter, diantaranya :
PARTAI YANG MENGGABUNGKAN DEMOKRASI INTERNAL, SOLIDITAS DAN MILITANSI
Jika Cuma ada demokrasi internal tapi tidak ada militansidan soliditas, ini bahaya. Karena demokrasi akan mengalami suatu proses materialisasi. Orang menjadi sangat materialistis. Saya mempunya satu asumsi bahwa semua partai besar di masa yang akan datang, akan mengalami penurunan
perolehan suara karena berkurangnya soliditas internal mereka. Tetapi PKS juga punya ancaman tidak akan bertumbuh besar lagi kalau
soliditasnya sudah mulai tidak terjaga.
Soliditas internal kita ditentukan terutama oleh kematangan tarbawi kita semuanya. Jika kadar kematangan tarbawi itu rendah, itu menyebabkan kita mudah mengalami gempuran dari luar dan tiba-tiba akan mengakibatkan tidak solid. Misalnya, kalau kita tidak matang secara tarbawi, maka
prinsip-prinsip tabayyun itu bisa hilang dan itu bisa merusak serta mengurangi tsiqah sesama kita.
Untuk menjaga soliditas, kata kunci yang penting di jama’ah dakwah ini adalah jalur tarbawi. Jadi kalau level nuqaba saja sudah tidak ada
kesolidan, maka ada ancaman jangka panjang bagi jama’ah dakwah ini. Itu sangat berbahaya. Karena itu harus ada early warning system di internal
jama’ah dakwah ini tentang masalah kematangan tarbawi. Kaderisasi membutuhkan maufakkir tarbawi (pemikir tarbiyah). Kita harus mempunyai
tiga level kualitas kader secara tarbawi. Ada yang levelnya adalah mufakkir (pemikir) tarbawi, ada yang levelnya ‘idari (manajer) tarbawi
dan ada juga yang levelnya murabbi.
Antum semua yang ada disini seharusnya mempunyai ketiga kompetensi tersebut sekaligus, karena hanya dengan begitu antum bisa menjamin
adanya peningkatan kedewasaan tarbawi antum. Salah satu alat ukur kedewasaan tarbiyah, kalau antum mau lihat, adalah mutu gossipnya dan
jenis-jenis konflik yang sering terjadi antara ikhwah.
Antum lihat perhatian-perhatian nya. Concernya pada masalah kecil atau besar. Antum lihat lagi usar, apa perhatiannya? Yang mereka bicarakan
diluar agenda resmi itu apa saja? Kalau yang mereka persoalkan itu adalah persoalan-persoalan kecil, antum bisa membayangkan, orang yang
berada di lapisan terdalam di umat ini berarti pikiran-pikirannya kecil, concernnya yang kecil-kecil. Masalahnya bukan masalah-masalah yang
strategis. Padahal, seharusnya level obrolan antum adalah level obrolan-obrolan yang strategis.
Usar-usar ‘amilin dan nuqaba, harus berpikir di level-level strategis tersebut. Karena mereka sekaligus mufakkir tarbawi,’idari dan murabbi.
Pada tiga kualitas ini lihat kedewasaannya, dengan melihat concernya. Saya melihat masih banyak sekali kader inti di level sangat inti ini,
obrolan-obrolannya itu masalah kecil semuanya. Kalau antum semuanya para qiyadatul ummah itu membicarakan masalah-masalah kecil, terus yang akan membicarakan masalah-masalah besar siapa?
Level of problem itu menentukan kualitas hidup orang. Jenis masalah yang antum hadapi itu, tidak akan keluar dari lingkaran kepribadian antum.
Kalau antum temperamental, antum pasti punya masalah dalam soal komunikasi dan hubungan dengan orang. Kalau antum lemah dan malas, antum
punya masalah dengan produktivitas. Kalau terlalu agresiv, antum biasanya punya persoalan dengan kerjasama dan amal jama’i. jadi, level
of problem menentukan kualitas orang.
Antum lihat lagi, konflik-konflik yang terjadi di internal kita, layakkan hal-hal itu menjadi penyebab konflik? Semua itu menentukan
ukuran-ukuran kematangan tarbawi. Ada orang yang misalnya karena belum mendapatkan sosialisasi, terus mutung, “Ya sudah terserah saja, deh”.
Itu tidak bagus. Mutu konflik kita kadang tidak menunjukkan bahwa kita berkelas. Begitu juga dengan cara kita mengelola konflik, seringkali
tidak juga menunjukkan cara yang berkelas, punya tradisi ilmiah, punya tradisi syura’ dan seterunya. Inilah kronik-kronik permasalahan yang kita hadapi dalam proses pendewasaan.
Proses pembesaran PKS terutama disebabkan oleh menurunnya perolehan suara-suara partai-partai besar dan meningkatnya perolehan suara kita
yang disebabkan Karen meninggkatnya kepercayaan kepada institusi. Harus kita lihat dari awal, bahwa kita mengedepankan institusi dan bukan pada
tokoh. Jadi kalau kita sudah tidak punya tokoh, kemudian institusi kita rapuh, maka yang akan dipilih orang dari PKS ini apa? Tidak ada lagi.
Masalah-masalah yang akan dihadapi Indonesia di masa-masa yang akan datang sebagian besarnya masalah-masalah global. Rakyat Indonesia , akan
menghadapi suatu fakta persoalan nasional yang tidak bisa diselesaikan dengan pertimbangan internasional, dalam konteks globalisasi. Begitu PKS
berada di puncak kepemimpinan nasional, misalnya, persoalan-persoalan efek globalisasi ini akan jauh semakin besar. Maka, tidak ada partai
yang bisa bertahan kecuali partai yang memiliki visi dan misi peradaban.
Maka, implikasinya, parpol merupakan sumber daya utama kepemimpinan nasional. Dan, bahwa pemimpin harakah yang akan kita migrasikan untuk
menjadi pemimpin Negara harus yang mempunyai kapasitas qiyadah hadhariyah (pemimpin peradaban).
Pemimpin Negara yang kita harus kita persiapkan adalah pemimpin yang kosmopolit. Tsaqafahnya, pergaulannya, semuanya punya cirri kosmopolit.
Implikasi internalnya adalah proses tarbawiyah kita harus semakin terintegrasi.
Kader baru yang kita lahirkan di kemudian hari harus merupakan kader yang memiliki wawasan ini. Sehingga dari tahun ke tahun, orang-orang
yang kita cemplungkan ke dalam ke kepemimpinan di lembaga-lembaga Negara ini menjadi icon-icon peradaban yang bagus. Mulai sekarang harus ada
pematangan terus menerus dari segi wawasan.
Syaikh Qardhawi dalam banyak taujihnya ketika di Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia itu mempunyai semua asset untuk menjadi sebuah peradaban
besar di kemudian hari. Itu berarti yang paling bertanggunjawab untuk mengubah Indonesia menjadi icon peradaban dunia adalah PKS, karena kita
adalah saripatinya bangsa ini. Ini adalah konsep perjuangan kita.
Wallahu a’lam bishshawab.
Ust. Anis Matta
(Disampaikan di acara BPK DPW DKI Jakarta)
lingkungan yang baik secara terus menerus, cerdas, berpendidikan tinggi, punya komitmen agama yang bagus serta lingkungan yang memberikan
kenyamanan yang luar biasa.
Tapi, waktu kita membuat partai, seakan-akan kita keluar dari comfort zone. Zona nyaman, yaitu lingkungan orang shalih sepertinya terpecah,
karena mulai dimasuki oleh orang-orang yang setengah shalih dan tidak shalih. Ruang lingkup pergaulan kita menjadi sangat luas. Sekarang kita
bertemu dengan keadaan yang mungkin tidak nyaman secara psikologis.
Politik ini memberikan kita jadwal hidup yang sangat ketat karena ada pemilu 5 tahunan. Kita selalu mengukur kinerja setiap waktu karena ada
banyak momentum. Kalau bukan kita yang mengukur kinerja kita maka orang lain yang mengukur kinerja kita. Sejak kita memutuskan untuk membuat partai, berarti kita membuka diri kita untuk diukur juga oleh orang lain. Dan itu membuat jadwal aktivitas kita menjadi sangat padat.
Sehingga kita harus belajar untuk bekerja dengan rileks dalam keadaan stress berkepanjangan. Itu salah satu pelajaran penting yang kita peroleh secara tarbawiyah setelah kita membuat partai.
Sebenarnya ada pelajaran lain, bahwa ktia harus bisa belajar berbeda pendapat secara rileks juga. Banyak pendapat, banyak ketegangan, tapi
kita harus mampu menghadapinya secara rileks.
Ikhwah sekalian.
Saya ingin menyampaikan beberapa hal untuk membangun frame kita, khususnya terkait kerja-kerja tarbiyah dalam kontek amal siyasi. Sejak harakah ini didirikan , konsep awal tentang kehidupan yang ingin kita bangun adalah sebuah kehidupan islami yang integral dan komprehensif, dengan tidak membuat pemisahan-2 antara seluruh aspeknya. Oleh karena itu , sejak awal konsep integrasi ini menyebabkan harakah ini selalu berhadapan dengan sekulerisme yang memisahkan antara politik, negara dan agama.
Kita tahu dengan baik jargon yang dibuat Imam Hasan Al-banna, bahwa islam adalah dinun wa daulah (agama dan negara) sekaligus. Jadi kita menganut konsep integrasi dari awal. Tetapi konsep integrasi ini bukan hanya ada pada integrasi antara negara dan agama saja, namun juga antara
dakwah dan politik. Itu sebabnya 10 tahun setelah Imam Hasan Al-Banna mendirikan jamaah dakwahnya, beliau langsung mendeklarasikan untuk memasuki era jahriiyah (era keterbukaan) dan ikut terlibat dalam aktivitas politik.
Sekarang tidak ada jalan bagi kita untuk menyatukan agam dan negara kecuali apabila kita mengambil bagian dalam aktivitas politik itu. Dan, sekarang ini, dalam sistem demokrasi, jalur orang untuk sampai kepada seluruh otoritas penting dalam negara hampir menjadi jalur tunggal, yaitu lewat partai politik.
Oleh karena itu, sekarang orang baru menyadari betapa besarnya peranan partai politik dalam menentukan arah kehidupan kita. Orang tidak boleh
jadi gubernur kecuali kalau di dapat mandat dari partai politik. Memang ada pemilihan langsung, tetapi yang mendaftarkan harus partai. Kemudian
memang ada calon independen, tetapi aturannya belum selesai, dan tidak benar-benar independen.
Oleh karena itu, untuk memperbesar akses harakah ke dalam negara itu jalannya cuma satu, yaitu memperbesar partai politiknya atau kendaraannya, atau kanalnya, yaitu partai politik. Apabila kanalnya besar, flow, arus yang akan masuk ke negara juga semakin besar.
Mengapa dulu birokrasi dikuasai Golkar? Ya, karena flow yang dibuatnya memang kanalnya besar. Bila kita mau masuk kesana, mesti membuat kanal
besar bagi dakwah. Mengapa selama ini harakah terpinggirkan di banyak negara? Karena tidak ada kanalnya. Oleh karena itu, saya mengatakan
bahwa lompatan pertama kita pada tahun 1999 adalah lompatan dari luar ke dalam.
Dulu kita dianggap OTB (organisasi tanpa bentuk). Antum bayangkan, orang-orang shalih yang terpilih diantara umat ini, kita memilih orang-orang shalih setengah mati, kita merekrut mereka dengan kriteria anasir taghyir (memiliki unsur perubah), kita pilih orang-orang hebat semuanya ditengah masyarakat dan kita masih dianggap sebagai orang aneh. Begitu kita membuat partai, kita melompat dari luar sistem ke dalam sistem dan itu memberikan kita banyak keleluasaan baru.
Begitu suara kita menguat pada tahun 2004, saya menyebut lompatan kedua ini sebagai lompatan eksistensi. Kita dianggap sebagai satu kekuatan
politik baru yang sangat disegani di negeri kita saat ini, karena kanal yang kita ciptakan ini makin besar. Sehingga arus orang yang masuk ke
otoritas negara itu makin banyak.
Misalnya kita lihat pada tahun 1999, akhwat kita yang ada di parlemen kita cuma satu orang, tetapi sekarang ini ada 72 orang. Artinya, di
jamaah dakwah kikta ada 72 suami yang istrinya bekerja di parlemen dan setiap hari para suami itu ditinggal istrinya. Kalau dulu kita
meninggalkan istri sekarang kita mulai ditinggalkan istri. Quota 30% masih akan terus berlaku. Tahun 2009 nanti jumlah akhwat yang masuk ke parlemen kita akan makin banyak. Lalu, kita punya 1 menteri, menteri ini membawa gerbong, bukan hanya gerbong birokrat tetapi juga gerbong
pengusaha.
Coba antum lihat, betapa banyak yang berubah begitu kanal ini membesar. Karena antum punya otoritas mencalonkan orang sebagai gubernur, maka
orang mau bayar antum semua, supaya dia jadi gubernur. Oleh karen itu, ada banyak bisnis di dalamnya, seperti aktifitas tarbiyah hari ini,
sudah mulai dikelola dengan cara bisnis. Ini sudah benar jalannya. Itu merupakan efek kanal yang kita ciptakan makin besar dan mempunyai efek
dalam menciptakan lapangan kerja baru.
Level integrai ketiga yang perlu kita waspadai karena kita belum mengenal dengan baik tabiatnya adalah integrasi aktivitas tarbawi dan
aktifitas siyasi. Ini mungkin pengaruh dari dikotomi yang sebelumnya terjadi. Padahal, dua tahun terakhir ini, ada lebih dari 200 pilkada
yang berlangsung. Itu berarti hampir per tiga hari ada satu pilkada.
Kebanyakan orang mengeluh pada dua tahun ini, bahwa pertumbuhan kader kita menjadi lambat. Bahkan, di DPP, ketika sekretariat melaporkan
pertumbuhan kader tahun lalu minus, Presiden PKS keberatan,”Kok bisa minus? Ini gak mungkin.” Padahal itu laporan dari Wilayah. Kemudian
Bidang Kaderisasi membuat evaluasi lagi di beberapa Wilayah, lalu ada pertambahan sedikit.
Setelah kita lihat, ternyata salah sebabnya adalah kebingungan mengintegrasikan pekerjaan, karena terlalu banyak pekerjaan sekaligus.
Pekerjaan ini belum dikelola dengan suatu pendekatan integrasi. Sebagai contoh, kalau orang luar melihat PKS, orang akan melihat PKS ini partai
baru, dana kecil, tapi aktivitas partainya besar. Loadnya luar biasa penuh, tidak ada kosongnya.
Semua teman-teman diluar PKS kalau bertemu saya, selalu bertanya satu hal,”Bagaimana keuangan PKS? Saya kemana mana ke daerah bertemu dengan PKS, dimana mana ada PKS. Jalan terus, begitu kerjanya tidak berhenti-berhenti. ” Ini adalah load pekerjaan yang luar biasa besarnya.
Integrasi ini terkait masalah efektifitas dan efisiensi dalam melakukan pekerjaan besar dengan usaha yang seminimal mungkin. Sebagai contoh, ada banyak aktifitas kita di internal ini sebenarnya menggunakan sangat banyak orang, sangat banyak waktu, banyak dana, juga menyentuh sangat
banyak publik. Kemudian hal ini sama sekali tidak mendapatkan liputan apa apa di media. Akan tetapi, bila dari awal kita punya pandangan yang terintegrasi maka itu akan sangat berbeda.
Contoh lain seperti aktifitas mukhayam (kemah). Antum lihat, berapa banyak tenaga yang kita keluarkan untuk aktifitas yang kita kerjakan?
Harinya panjang, jumlah pesertanya banyak, kalau dikelola dalam satu kemasan, efek pelatihan tarbawi yang diharapkan dari mukhayam itu tetap
dapat diperoleh dengan tetap mendapatkan liputan media yang luas. Tetapi ini belum kita kelola.
Kemarin coba antum bayangkan waktu kita mengubahnya di Cibubur. Berapa banyak pekerjaan yang dapat diselesaikan sekaligus? Karena kita mulai mengintegrasikan. Jangan sampai nanti orang media hanya bekerja mengiklankan PKS kalau ada Muharram, kalau ada Milad atau kalau ada
Ramadhan saja, baru itu yang dinamakan aktifitas media, sedangkan aktifitas tarbawi tidak ada liputannya. Padahal sebenarnya ini justru
aktifitas yang punya nilai jual yang luar biasa bagi orang-orang luar.
Antum lihat, orang-orang yang berminat terhadap petualangan itu kan banyak. Sekarang acara petualangan di tv itu laris dan ratingnya tinggi.
Kenapa pada sisi ini sebagai partai orang muda, tidak kita jadikan kekuatan. Pesona PKS yang bisa punya daya gugah dan daya rekrut bagi
orang luar, bahwa partai ini mencanangkan suatu pola hidup yang sehat dan ingin membangun generasi muda yang kuat. Hanya dengan mengubah
sedikit cara melakukannya untuk membuat suatu happening art yang bagus, membuat suatu release yang bagus, sedikit packaging yang bagus, maka
semuanya akan berbeda hasilnya.
Antum tidak akan kehilangan sedikitpun efek tarbawiyah yang ingin kita capai apabila kita mampu mengintegrasikannya . Menurut saya, level
integrasi ketiga ini perlu dipelajari. Pilkada ini adalah salah medan uji cobanya. Waktu kita merancang strategi di DPW untuk pemenangan
Pilkada ini, dari awal saya menekankan : “Masukkan satu poin di grand strategy di DPW untuk pemenangan pilkada ini, bahwa syarat untuk memenangkan DKI Jakarta adalah dengan meningkatkan kapasitas, kinerja dan citra PKS, sebagai partai utama.”
Makin besar partai ini, makin mudah kita menyosialisasi calonnya. Kita bisa menggaransi bahwa sebab kemenangannya 70% lebih adalah oleh
jaringan ini. Oleh karena itu, jaringan ini perlu diperbesar strukturnya maupun jumlah kadernya. Implikasinya apa? Semua target kaderisasi
masukkan di target pilkada.
Jadi untuk memenangkan pilkada ini, kitta memerlukan 162 ribu kader baru untuk mencukupi angka total 200.000 kader di DKI dan dengan demikian
jika target kita adalah 2 juta suara, maka satu kader harus merekrut sepuluh suara. Insya Allah hal ini efektif untuk mencapai target itu.
Implikasi selanjutnya pada budgeting.
Antum lihat flow kegiatan itu akan lebih lancar ketika dia diintegrasikan. Sehingga manajemennya menjadi lebih sederhana, jauh lebih efektif dan efisien. Selain itu, dengan integrasi ini ada efek lanjutan, yaitu memperbesar aset kita dan kemampuan kapitalisasi kita.
Antum lihat suara partai-partai islam di Indonesia sepanjang sejarahnya tidak pernah lebih dari 45%. Artinya apa? Artinya afiliasi ideologi
orang-orang islam indonesia masih ke ideologi sekuler.
Ini artinya semua gerakan dakwah yang pernah ada di Indonesia, ternyata tidak berhasil, padahal ormas-ormas dakwah seperti Muhammadiyah, NU jauh lebih tua dari Republik Indonesia ini. Apa yang menjelaskan PAN yang lahir dari Muhammadiyah Cuma dapat segitu suara? Apa yang menjelaskan
PKB yang lahir dari NU Cuma dapat segitu suara? Bahkan kalau digabung misalnya dengan PPP tetap saja sedikit jumlah suaranya.
Artinya gerakan dakwah ini dari awal menganut pemisahan antara dakwah dan politik. akibatnya dia tidak bisa mengkapitalisasi aset-asetnya.
Bahkan sekarang kita lihat ada pendekatan yang intensif dari PDIP ke Muhammadiyah, dan dari Muhammadiyah ke PDIP.
Kendala harakah islamiyah dalam upaya menjadi partai besar , salah satunya adalah ketidakmampuan mengintegrasikan program-programnya.
Sehingga selalu ada dua arus dalam jamaah dakwah, yaitu arus orang-orang tarbawi dan arus orang-orang politik. itu tidak bagus, tidak sehat, dan tidak benar-benar manhaj. Orang-orang tarbawi mengatakan,” Sudahlah, aktifitas kita sekarang sudah terlalu banyak politik. orang-orang sudah tidak memperhatikan lagi tarbiyah.”
Jadi seharusnya kita tidak pernah menganut pemisahan seperti itu. Attarbiyun, ‘assiyasiyun. Itu semua satu pekerjaan. Semua namanya
dakwah. Semua pekerjaan ini sama untuk membangun aset kekuatan umat. Dengan mentarbiyah, kita membangun aset orang, dengan politik kita
membangun aset kekuasaan. Hal ini tidak ada yang perlu dipisah-pisahkan lagi. Tetapi di banyak negara, penyakit ini bisa membesar, seperti di
negeri kita juga. Kalau tidak segera merubahnya maka orang-orang tarbiyah akan merasa lebih nyaman, merasa hidup lebih tenang, lebih
khusyuk dan sedikit merasa lebih religius dan lebih ikhlas dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang terlalu aktif di politik. kini ada satu
gejala yang buruk dan tidak sehat dalam tarbiyah. Penting bagi kita untuk mengamatinya. Ada orang-orang yang merasa gagal di alam kenyataan, kemudian lari ke alam spiritual yang sedikit rada maya.
Dalam soal dana, misalnya, banyak orang mengatakan, “Sudahlah kita ini orang di DPR gak usah dibebankan cari dana untuk dakwah. Kita akan
melaksanakan tugas dan tinggal kontrol kita saja.” Bisa jadi bukan karena ingin lempeng saja, Cuma mereka tidak mampu cari dana, tetapi
kemudian mengcover ketidakmampuan dengan berbagai alasan. Orang-orang ini seolah-olah ingin mengatakan, bahwa jumlah barang halal jauh lebih sedikit dari jumlah barang yang haram. Logikanya adalah “Kalau yang halal itu lebih sedikit dari yang haram, terus kenapa islam menyuruh
kita kaya?”
Sebenarnya dia tidak ingin mengatakan itu. Tapi karena beberapa alasan. Pertama : dia tidak memahami manhaj dengan baik. Kedua : ada sesuatu
yang disembunyikan di hati, yaitu ketidakmampuannnya. Ini juga gejala tarbawi yang tidak sehat.
Dalam soal aktifitas tarbiyah, ada juga gejala tidak sehat dari orang-orang yang tidak punya basis tarbawi yang bagus ketika kemudian
terjun ke politik. ini harus diakui. Atas nama kesibukan di DPR dan DPRD dan seterusnya, akhirnya dia banyak ghaib di liqo’ pertemuan rutin
kader, tidak lagi mentarbiyah, akhirnya secara ruhiyah dia kering dan semuanya kering. Hal itu kadang sebenarnya bukan karena aktifitas
politik. sebelum terlibat di dalam politik pun orang-orang seperti ini sudah kering.
Ini rada rada mirip dengan perkataan Ali bin Abi Thalib saat pasukan Muawiyah dalam perang Shiffin mengangkat mushaf mengajak perdamaian.
Susah ditolak. Orang mau damai pakai Al-quran susah ditolak, meski ada niat lain dibaliknya. Ali memahami dengan baik niat itu. Maka ia
mengatakan,” Ini adalah kata yang benar tapi tujuannya adalah kebatilan.” Jadi kita mengungkap sesuatu yang terlihat nyata, tapi sebenarnya tidak.
Kemarin Syaikh Qardhawi berdoa di Masjid Istiqlal. Ada satu isi doanya, saya baru dengar itu dan memberikan saya inspirasi. Beliau
mengatakan,” Ya Allah hindarkan ibadah-ibadah kami dari riya, hindarkan hidup kami adri tanaqudh (paradoks).” Hidup yang paradoks itu karena
hal-hal begini. Seperti kita menyembunyikan sesuatu dalam hati kita, dan kita cover dengan bungkus-bungkus yang katanya manhaji.
Pemahaman ini diperlukan oleh para manajer-manajer tarbiyah ini, agar dapat mengelola dengan baik aktifitas ini, supaya tidak ada lagi
pemisahan.
Kalau antum lihat rutbah tarbawiyah (level keanggotaan) kita, level paling bawah adalah pemula (tamhidi), diatasnya ada muayyid. Piramidanya
selalu mengecil, semakin keatas itu semakin mengecil. Jadi biasanya rasionya 1/5 atau kalau tidak 1/10. dua level paling bawah ini kita
sebut sebagai kader pendukung. Sedang kader inti ada pada 4 level keatas.
Saya ingin antum memahami falsafah manhaji pada sistem keanggotaan dalam perspektif strategy pergerakan. Anggota Madya (muntasib) konsepnya adalah orang-orang yang sudah memahami dakwah ini dengan baik, memahami islam dengan baik, berperilaku islami dan sudah terlibat dalam sebagian besar aktifitas dakwah ini dengan baik. Intisab artinya tergabung, dia mengetahui sudah bergerak dan tergabung di dalam jamaah dakwah ini.
Kemudian satu tingkat di atasnya Anggota Dewasa (muntanzhim) , yang terjemahannya artinya terstruktur. Dia bkan sekadar berada atau tidaknya
di mihwar dakwah, tapi dia sudah menjadi operator utama mihwar. Satu tingkat lagi adalah anggota ahli, lalu purna (takhassus).
Kira-kira kalau dalam hirarki militer itu ada yang takhassus ini namanya komandan, yang anggota ahli (amilin) ini namanya pasukan khusus.
Kemudian yang muntanzhim itu pasukan strategisnya, yang muayyid ke bawah yang prajuritnya. Maka lapisan terkecil dari ummat adalah takhassus.
Lapisan terluranya ada muhibbin, ada ummat dan terakhir lapisan terluarnya adalah al qaum. Semakin antun di tengah maka semakin antum
ada di titik pusat yang menentukan arah pergerakan umat.
Antum yang sudah jadi amilin sudah berada di titik pusat. Jadi dengan konsep ini, antum bisa mengetahui bahwa sebagian besar beban ini dipikul
oleh orang yang makin ke dalam. Karena beban yang akan kita pikul semakin berat, maka syarat janji setianya juga semakin berat. Bukan pada
kompetensi, tapi pada derajat atau bobot kesetiannya, karena amanah umat yang berat ini hanya orang-orang yang benar-benar setialah yang bisa
memikul beba ini. Ini adalah konsep pertama.
Konsep yang kedua, Jamaah Dakwah ini dibangun dengan 4 basis, yaitu :
1. Qaidah harakiyah (basis pergerakan), maksudnya mereka inilah yang mengoperasikan gerakan dakwah ini.
2. Qaidah fikriyah (basis pemikiran ), terdiri dari para pemikir, para perancang, para ulama dan para intelektual.
3. Qaidah siyasiyah (basis politik), terdiri pada pimpinan-pimpinan (qiyadah) pengambil keputusan dan penentu kebijakan.
4. Qaidah sya’biyah (basis massa).
Jadi kader kita ini, semuanya ada di kategori Qaidah harakiyah, Qaidah Fikriyah dan Siyasiyah. Karena itu lapisan terbawah dari dakwah adalah
umat. Dari umat ini kita merekrut orang terbaik untuk naik ke Qaidah Harakiyah, dari Qaidah Harakiyah ini kita rekrut lagi yang terbaik dan
naik ke Qaidah fikriyah. Kemudian dari qaidah fikriyah kita rekrut lagi yang terbaik untuk naik ke Qaidah Siyasiyah. Hal yang membedakan mereka
dalam level kepemimpinan biasanya adalah dalam soal wawasan.
Dari mana kita merekrut ini semuanya? Kalau kader harakiyah itu adalah kader dengan enma ruthbah tarbawiyah itu tadi, maka tentu saja Qaidah
Fikriyah dan Qaidah Siyasiyah ini diambilnya dari enam level tadi. Tentu saja Qaidah Fikriyah and Qaidah Siyasiyah itu paling mungkin diambil
dari orang yang ruthbahnya paling atas dan itu yang paling mungkin. Makanya ketua DPD sebaiknya kader inti, karena sudah dalam level Qaidah
Siyasiyah.
Ikhwah sekalian.
Kalau piramida keanggotaan kita ini tidak terisi dengan bagus, maka nanti sumber daya rekrutmen kita untuk mengirim basis-basis kepemimpinan
kita dalam umat ini tidak akan terpenhi. Tujuan kita untuk menjadi Qiyadatul ummah (pemimpin umat) ini tidak akan tercapai. Karena stoknya
tidak tersedia. Apabila stoknya tidak tersedia maka akan ada suatu ancaman. Yaitu, kalau kita mencapai keberhasilan poltik, misalnya,
tetapi tidak ada stok maka kita terpaksa melakukan transaksi dengan orang lain. Karena ada stok kompetensi yang tidak kita miliki tapi
dimiliki orang lain. Itu membahayakan kemampuan kontrol kita.
Jadi seandainya nanti kita dapat 20% dan karena itu kita mempunyai hak untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, misalnya, dan setelah itu
kita menang, bagaimana kita mengatur negara ini?
Kalau hierarki ini tidak terpenuhi, maka dampaknya akan terjadi ketika kita mencapai lompatan-lompatan politik. kalau tidak sejalan
pertumbuhannya, maka akan menyebabkan bahaya yang besar. Itu baru tentang kontrol atas pemerintahan. Kalau kita bicara tentang kontrol
atas umat, seandainya kita mempunyai otoritas, tapi umat kita pada dasarnya belum terdakwahi dengan baik, ini juga bahaya. Dalam strategi
dakwah, kalau masuk ke alam demokrasi, begitu kita naik dan berkuasa, kita tidak mungkin langsung mengatakan,” Kita mau menerapkan sistem
Islam. Tidak begitu prosedurnya. Tetapi kita harus mengikuti prosedur demokrasi. Harus ada tuntutan dari rakyat. Kalau rakyatnya tidak
menuntut, bahkan menentang, maka kita tidak bisa mengetuk palu.
Itulah yang terjadi pada waktu Muhammad Natsir menjabat sebagai Perdana Menteri. Dia tidak bisa berbuat apa apa , karena umatnya belum siap.
Oleh karena itu, penentuan target jumlah kader itu sebenarnya berangkat dari rasio pengendalian kita atas umat. Itulah sebabnya, kenapa jumlah
kader kita harus banyak, karena jumlah penduduk umat kita di indonesia juga besar.
Berapa besar dari umat ini yang dapat dikendalikan oleh 2 juta kader? Berapa rasio pengedalian kader per umat. Misalnya Cuma 20%. Satu kader
20, misalnya. Maka kalau kita punya 2 juta suara, ternyata yang bisa kita kendalikan Cuma 40 juta umat. Itu angka yang bagus tapi tidak cukup
untuk mengcover seluruh masyarakat di negara yang sangat luas seperti Indonesia ini.
Yang namanya masyarakat islami dalam pengertian yang kuantitatif, adalah apabila jumlah orang shalihnya mencapai 50 plus 1% lebih banyak, jika
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak shalih.
Ukuran kesalehan itu setidak-tidaknya ada 3, yaitu :
1. Memiliki afiliasi ideologi, karena itu adalah hakekat dari aqidah
2. melaksanakan semua fardhu ‘ain, khususnya Rukun Islam.
3. Meninggalkan semua dosa-dosa besar, khususnya yang bersifat pidana.
Kalau dosa menengah dan kecil itu susah. Termasuk juga untuk kader inti. Karena itu ada mekanisme pengampunan rutin untuk dosa berjalan. Seperti melalui wudhu, berjalan ke mesjid, shalat berjamaah dan lain lain. Supaya – istilah orang akuntansi – neracanya seimbang.
Jadi, sekali lagi, ini menyangkut masalah mengendalikan keshalihan umat. Itulah fungsinya jumlah kader. Oleh sebab itu mengapa kader mesti kita
angkat kualitas hidupnya jauh lebih tinggi daripada umat, karena hanya dengan itu dia mampu mengendalikan umat. Karena dengan itu dia bisa jadi
Qiyadah di tempatnya masing-masing.
Ada faktor ketiga dari rasio ini selain pengendalian negara dan pengendalian umat, yaitu apabila kita menghadapi keadaan paling buruk.
Ada satu fakta yaitu begitu kita berkuasa, ternyata kita tidak bisa bermimpi untuk langsung melakukan dan membangun ekonomi, mensejahterakan
rakyat dan seterusnya. Begitu kita berkuasa, antum akan menemui apa yang ditemui oleh saudara kita Nurmahmudi Ismail di Depok. Digoyang terus
oleh orang.
Dalam perjalanan Rasulullah, fase pertama dari Madinah adalah marhalah(fase) meneguhkan eksistensi negara. Itu sebabnya dalam rangka
menegakkan eksistensi, negara itu digoyang dari semua arah sebanyak 48 kali pertempuran dalam 5 tahun pertama. Itu sebabnya saya menemukan
fakta-fakta bahwa pembangunan ekonomi saat itu tidak ada. Saat itu, Madinah adalah satu-satunya negara yang tidak punya bendahara. Tidak ada
kas Negara di zaman Rasulullah. Tidak ada menteri keuangan bahkan tidak ada budget. Bahkan ketika kaum muslimin yang lelah berperang dan tidak
sempat mengurusi bisnisnya serta lahan pertaniannya, mereka baru mulai berpikir, “Kapan ya kita rehat dari pertempuran ini?”.
Saya menemukan hadist-hadist lain, waktu fatimah binti Muhammad melahirkan Hasan, cucu pertama Rasulullah, Ali bin Abi Thallib
memberikannyanama Harb (perang). Itu kata yang disenangi dan macho. Tapi kata Rasulullah,” Jangan itu namanya, karena tidak bagus, ganti dengan
Hasan.” Rasulullah memberi nama yang lembut. Artinya apa? Menurut Syaikh Qardhawi, kosa kata perang itu adalah kosa kata yang paling tidak
disenangi dalam islam. Tidak ada orang yang senang dengan kata itu.
Kita sebenarnya tidak menginginkan peperangan. Tetapi kadang itu adalah keniscayaan dalam hidup yang dipaksakan kepada kita dan kita harus
menghadapinya. Itu sudah pertarungan hidup yang diciptakan oleh Allah SWT antara al-haq dan al-bathil.
Itu berarti begitu kita mengurus Negara, antum jangan bayangkan bahwa kita sudah melakukan program pemberdayaan kaum miskin, mengurangi
pengangguran, membuka lapangan kerja dan kita undang investor dari luar, tidak begitu caranya menjalankan Negara. Sama sekali tidak !
Bayangkanlah semua yang paling buruk dari yang pernah kita bayangkan. Berusahalah berpikir ada yang lebih buruk dari yang kita bayangkan. Oleh
karena itu, pada saat kita menghadapi hal-hal yang seperti itu nanti, kita tidak hanya mengandalkan semua institusi Negara, walaupun kita
mempunyai otoritas besar dalam Negara. Bagaimana kalau terjadi invasi? Saya bertemu dengan pejabat-pejabat tinggi TNI,”Pak, kalau kita diinvasi
oleh Amerika seperti Irak,berapa lama bias bertahan?” Dia bilang,”Insya Allah tidak akan lebih dari dua hari seluruh kota di Indonesia akan
dikuasai. Setelah itu kita akan masuk ke hutan dan baru memulai perang gerilya.”
Jadi jika terjadi hal-hal seperti itu, siapa yang antum andalkan? Kader. Tidak ada lagi yang lain. Itulah alasannya dalam setiap level
keanggotaan (ruthbah tanzimiyah) bukan kompetensi yang diuji, tapi derajat kesetiaan, karena sebenarnya ujiannya ada disitu.
Maka kita memahami dengan baik, begitu aktivitas tarbawiyah di dalam melemah, itu artinya kekuatan strategis akan hancur dengan sendirinya.
Artinya kita mengeropos walaupun secara politik mungkin saja kita membesar.
Kalau antum memahamai kata kunci pengendalian terhadap Negara, terhadap umat, dan terhadap keseluruhan teritori saat kita menghadapi bahaya,
antum akan mulai mengerti mengapa kaderisasi adalah kata kunci bagi pertumbuhan dan kemajuan umat, karena antum sebagai pemimpin (qiyadah)
yang ada pada lapisan terdalamnya.
Antum adalah saripatinya bangsa atau kaum ini. Kalau terjadi pelemahan disini maka lapisan-lapisan luar tidak bisa kita kendalikan. Baik dalam
kategori pengendalian terhadap Negara, pengendalian terhadap kualitas umat, maupun terhadap fungsi pertahanan strategis kalau-kalau kita
menghadapi bahaya.
Ikhwah sekalian,
Selanjutnya, poin terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, masalah pandangan futuristic ke depan. Berdasarkan hasil analisa situasi politik
sekarang, saya merumuskan bahwa di masa yang akan datang, partai-partai yang bisa bertahan adalah yang memiliki beberapa karakter, diantaranya :
PARTAI YANG MENGGABUNGKAN DEMOKRASI INTERNAL, SOLIDITAS DAN MILITANSI
Jika Cuma ada demokrasi internal tapi tidak ada militansidan soliditas, ini bahaya. Karena demokrasi akan mengalami suatu proses materialisasi. Orang menjadi sangat materialistis. Saya mempunya satu asumsi bahwa semua partai besar di masa yang akan datang, akan mengalami penurunan
perolehan suara karena berkurangnya soliditas internal mereka. Tetapi PKS juga punya ancaman tidak akan bertumbuh besar lagi kalau
soliditasnya sudah mulai tidak terjaga.
Soliditas internal kita ditentukan terutama oleh kematangan tarbawi kita semuanya. Jika kadar kematangan tarbawi itu rendah, itu menyebabkan kita mudah mengalami gempuran dari luar dan tiba-tiba akan mengakibatkan tidak solid. Misalnya, kalau kita tidak matang secara tarbawi, maka
prinsip-prinsip tabayyun itu bisa hilang dan itu bisa merusak serta mengurangi tsiqah sesama kita.
Untuk menjaga soliditas, kata kunci yang penting di jama’ah dakwah ini adalah jalur tarbawi. Jadi kalau level nuqaba saja sudah tidak ada
kesolidan, maka ada ancaman jangka panjang bagi jama’ah dakwah ini. Itu sangat berbahaya. Karena itu harus ada early warning system di internal
jama’ah dakwah ini tentang masalah kematangan tarbawi. Kaderisasi membutuhkan maufakkir tarbawi (pemikir tarbiyah). Kita harus mempunyai
tiga level kualitas kader secara tarbawi. Ada yang levelnya adalah mufakkir (pemikir) tarbawi, ada yang levelnya ‘idari (manajer) tarbawi
dan ada juga yang levelnya murabbi.
Antum semua yang ada disini seharusnya mempunyai ketiga kompetensi tersebut sekaligus, karena hanya dengan begitu antum bisa menjamin
adanya peningkatan kedewasaan tarbawi antum. Salah satu alat ukur kedewasaan tarbiyah, kalau antum mau lihat, adalah mutu gossipnya dan
jenis-jenis konflik yang sering terjadi antara ikhwah.
Antum lihat perhatian-perhatian nya. Concernya pada masalah kecil atau besar. Antum lihat lagi usar, apa perhatiannya? Yang mereka bicarakan
diluar agenda resmi itu apa saja? Kalau yang mereka persoalkan itu adalah persoalan-persoalan kecil, antum bisa membayangkan, orang yang
berada di lapisan terdalam di umat ini berarti pikiran-pikirannya kecil, concernnya yang kecil-kecil. Masalahnya bukan masalah-masalah yang
strategis. Padahal, seharusnya level obrolan antum adalah level obrolan-obrolan yang strategis.
Usar-usar ‘amilin dan nuqaba, harus berpikir di level-level strategis tersebut. Karena mereka sekaligus mufakkir tarbawi,’idari dan murabbi.
Pada tiga kualitas ini lihat kedewasaannya, dengan melihat concernya. Saya melihat masih banyak sekali kader inti di level sangat inti ini,
obrolan-obrolannya itu masalah kecil semuanya. Kalau antum semuanya para qiyadatul ummah itu membicarakan masalah-masalah kecil, terus yang akan membicarakan masalah-masalah besar siapa?
Level of problem itu menentukan kualitas hidup orang. Jenis masalah yang antum hadapi itu, tidak akan keluar dari lingkaran kepribadian antum.
Kalau antum temperamental, antum pasti punya masalah dalam soal komunikasi dan hubungan dengan orang. Kalau antum lemah dan malas, antum
punya masalah dengan produktivitas. Kalau terlalu agresiv, antum biasanya punya persoalan dengan kerjasama dan amal jama’i. jadi, level
of problem menentukan kualitas orang.
Antum lihat lagi, konflik-konflik yang terjadi di internal kita, layakkan hal-hal itu menjadi penyebab konflik? Semua itu menentukan
ukuran-ukuran kematangan tarbawi. Ada orang yang misalnya karena belum mendapatkan sosialisasi, terus mutung, “Ya sudah terserah saja, deh”.
Itu tidak bagus. Mutu konflik kita kadang tidak menunjukkan bahwa kita berkelas. Begitu juga dengan cara kita mengelola konflik, seringkali
tidak juga menunjukkan cara yang berkelas, punya tradisi ilmiah, punya tradisi syura’ dan seterunya. Inilah kronik-kronik permasalahan yang kita hadapi dalam proses pendewasaan.
Proses pembesaran PKS terutama disebabkan oleh menurunnya perolehan suara-suara partai-partai besar dan meningkatnya perolehan suara kita
yang disebabkan Karen meninggkatnya kepercayaan kepada institusi. Harus kita lihat dari awal, bahwa kita mengedepankan institusi dan bukan pada
tokoh. Jadi kalau kita sudah tidak punya tokoh, kemudian institusi kita rapuh, maka yang akan dipilih orang dari PKS ini apa? Tidak ada lagi.
Masalah-masalah yang akan dihadapi Indonesia di masa-masa yang akan datang sebagian besarnya masalah-masalah global. Rakyat Indonesia , akan
menghadapi suatu fakta persoalan nasional yang tidak bisa diselesaikan dengan pertimbangan internasional, dalam konteks globalisasi. Begitu PKS
berada di puncak kepemimpinan nasional, misalnya, persoalan-persoalan efek globalisasi ini akan jauh semakin besar. Maka, tidak ada partai
yang bisa bertahan kecuali partai yang memiliki visi dan misi peradaban.
Maka, implikasinya, parpol merupakan sumber daya utama kepemimpinan nasional. Dan, bahwa pemimpin harakah yang akan kita migrasikan untuk
menjadi pemimpin Negara harus yang mempunyai kapasitas qiyadah hadhariyah (pemimpin peradaban).
Pemimpin Negara yang kita harus kita persiapkan adalah pemimpin yang kosmopolit. Tsaqafahnya, pergaulannya, semuanya punya cirri kosmopolit.
Implikasi internalnya adalah proses tarbawiyah kita harus semakin terintegrasi.
Kader baru yang kita lahirkan di kemudian hari harus merupakan kader yang memiliki wawasan ini. Sehingga dari tahun ke tahun, orang-orang
yang kita cemplungkan ke dalam ke kepemimpinan di lembaga-lembaga Negara ini menjadi icon-icon peradaban yang bagus. Mulai sekarang harus ada
pematangan terus menerus dari segi wawasan.
Syaikh Qardhawi dalam banyak taujihnya ketika di Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia itu mempunyai semua asset untuk menjadi sebuah peradaban
besar di kemudian hari. Itu berarti yang paling bertanggunjawab untuk mengubah Indonesia menjadi icon peradaban dunia adalah PKS, karena kita
adalah saripatinya bangsa ini. Ini adalah konsep perjuangan kita.
Wallahu a’lam bishshawab.
Ust. Anis Matta
(Disampaikan di acara BPK DPW DKI Jakarta)
Langganan:
Postingan (Atom)