Di Jakarta banyak orang pulang malam. Bukan pulang sore. "Sibuk," kata mereka. Sebagian memang benar karena sibuk. Sebagian lain, mungkin 90 persen, ingin dianggap sibuk.
Kesibukan utamanya baru mulai selepas makan siang. Sebagian besar untuk rapat. Menurut teori, rapat yang baik adalah yang ringkas. Cukup 30 menit hingga sejam. Namun 'orang-orang sibuk' selalu mampu mengadakan rapat hingga tiga jam.
Itu belum termasuk perbincangan panjang setelahnya. Katanya, perbincangan itu membahas iklim bisnis yang sedang berkembang. Juga soal konsep pengembangan produk atau usaha, bahkan juga politik. Hanya bila ada waktu tersisa, baru menangani pekerjaan teknis.
Setelah matahari terbenam, orang-orang pun memindahkan kantor ke kafe-kafe. "Bisnis adalah lobi," kata mereka. Kafelah tempatnya. Kafe juga menjadi standar gaul mereka yang menganggap diri "eksekutif". Termasuk yang baru setahun dua tahun kerja, dan masih memakai mobil milik orang tua.
Lalu seberapa efisien untuk kerja pagi? "Kita 'kan sibuk sampai malam. Jangankan untuk produktif, kerja pagi pun susah."
Bagi Sumarno --seorang nelayan sukses asal Jepara-- dunia yang dijalani para 'eksekutif muda' di Jakarta sungguh merupakan dunia ilusi. Omzet bisnis Sumarno mencapai Rp 3 miliar sebulan. Baginya, kerja, ya, kerja. Bukan rapat dan berdiskusi melulu. Baginya, pendapatan, ya, ditabung dan untuk membantu sanak keluarga serta masyarakat sekitar. Bukan dihabiskan di kafe dan mal.
Dengan tingkat penghasilannya, ia sudah sangat bangga menggunakan Opel Blazer. Warga Jakarta, dengan penghasilan pas-pasan sekalipun, bahkan rela untuk berutang demi mendapatkan mobil yang lebih mewah. Sumarno hampir pasti tak memegang kartu kredit. Di Jakarta, semua berlomba menggunakan kartu kredit. Kartu kredit itu dipakai terutama bukan untuk memudahkan pembayaran, namun untuk gali lubang tutup lubang. Jangan tanyakan berapa saldo mereka yang tersisa di bank.
Jakarta jantung Indonesia. Jangan heran bila negara ini punya perilaku yang sama dengan warga Jakarta: bokek, namun suka gali lubang tutup lubang. Warga Jakarta merasa tidak dapat hidup kalau tidak mempunyai tagihan utang yang harus dipenuhinya. Demikian pula
Republik kita tercinta ini.
Negeri ini punya setumpuk utang. Tumpukan itu yang menjadi alasan untuk mengajukan utang berikutnya. Seolah tidak ada bangsa di dunia ini yang dapat hidup dan berkembang tanpa utang. Cina sukses bukan dengan mengutang, tetapi dengan menggali kekuatannya sendiri. Kekuatan kita memang masih jauh di bawah Cina, namun apakah benar bangsa kita tak lagi punya apa-apa termasuk harga diri?
"Tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah," sabda Sang Rasul. Kita akan jauh lebih mampu untuk bangkit bila tidak menengadahkan tangan. Syaratnya hanya kesediaan kita berkorban meninggalkan kebiasaan ikut-ikutan mendapatkan kesan 'wah' untuk kembali
hidup realistis seperti Sumarno.
Mari kita bangun dari tertidur dalam ilusi. Pulanglah sore. Nikmati suasana senja di beranda rumah sendiri. Mulailah bekerja lebih pagi. Bila merasa gengsi belajar dari Sumarno, tengoklah Singapura. Negara itu memajukan sejam patokan waktu negerinya. Maka, mereka lebih mampu memberi utang ketimbang berutang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar