Jumat, 02 April 2010
Menjadi Aktivis Minimalis
Santai memang dibolehkan, agar jasad, akal dan jiwa ini bisa menyerap kembali serpihan energy yang ia butuhkan, sehingga keringkihan elemen-elemen tubuh seorang insan bisa kembali tersegarkan. Oleh sebab itu pulalah, menikmati kesantaian bukanlah sesuatu yang diajarkan agama ini. Maka, rehat dan bersantailah seperlunya saja, dan jangan pernah nyaman dan berasyik masyuk dengan kesantaian.
Ketika cita-cita yang kita inginkan adalah untuk menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta ini, maka logikanya tentu bekal yang mesti kita siapkan setidaknya juga sebesar alam dan seisinya ini, sekiranya tidak mungkin untuk lebih besar dari itu.
Kini, ekspansi dakwah bagi semesta alam yang terus bergulir disadari menuntut keseimbangan bekal dari para pengusung amanah dakwah ini. Jika tidak, kita khawatir kalau kemandegan, stagnasi atau antiklimaks akan menerpa perjalanan panjang dakwah ini.
Akhir-akhir ini, kejenuhan mulai melanda para aktivis dakwah. Kejenuhan yang salah satunya muncul akibat semakin berkurangnya bekal para du’at, sementara di sisi lain beban terus bertambah. Modal-modal dasar seorang aktivis semakin tak tertunaikan akibat lemahnya manajemen waktu para aktivis dakwah yang kini lebih cendrung hanya memenuhi penunaian akan tugas dakwah mereka.
Padahal, ibarat proses bernafas, kita merasakan langsung bagaimana kita menghirup udara, mengumpulkannya sejenak dan melepaskannya serta kembali menghirupnya. Hal itu berjalan laksana irama nan begitu indah.
semestinya dalam menjalani aktivitas dakwah kita juga demikian. Proses menyerap energy, mengumpulkannya dan melepasnya mesti berjalan secara sinergi. Jika itu terjadi, Insyaallah kita tidak akan merasa kelelahan, walau pada aspek kemanusiaan, lelah itu tetaplah ada. Adalah sesuatu yang tidak mungkin jika kita hanya menyerap energy saja sementara tidak pernah digunakan. Dan juga tidak akan mungkin kalau kita hanya melepaskan energy saja dalam bentuk aktivitas dakwah, tapi proses penyerapan dan pengumpulan energy tidak kita lakukan. Maka tidak heran, manakala kita berasyik masyuk melepas energy dalam dakwah, sementara tak ada penyerapan kembali, yang kita dapati adalah kelelahan, kejenuhan akibat tidak seimbangnya perputaran energy kita.
Oleh karena itulah dalam fenomena hari ini semakin banyak kita temukan diri kita para aktivis dakwah yang secara perlahan dan tidak disadari menjadi aktivis dakwah minimalis. Ada yang minimal dalam hal amal dakwahnya dan ada pula yang minimal dalam pemenuhan bekal seorang aktivis dakwah, bahkan ada pula yang melanda kedua sisinya, amal dan bekal yang sama-sama minimalis.
Dalam perenungan kita barangkali bisa dirasakan, konsistensi amal yaumiyah kita saja, yang menjadi salah satu bekal bagi para aktivis dakwah, kini semakin minimal kita lakukan. Alih-alih terpenuhi standar minimalnya, bahkan tak jarang kita temukan diri kita hanya sekedar memenuhi jawaban kalau hal itu sudah kita lakukan.
Sudah mulai kita temukan aktivis dakwah yang terjerat kemalasan untuk melakukan shalat di awal waktu, apalagi shalat berjamaah. Kalaupun tetap berjamaah, tapi mulai muncul kemalasan untuk pergi ke mesjid. Qiroaah Quran pun semakin berkurang. Dari standar satu juz perlahan barangkali turun menjadi setengah juz, seperempat juz atau bisa jadi beberapa ayat saja sebagai pemenuhan syarat sudah membaca Al-quran pada hari bersangkutan. Alma’tsurat kurang lebih juga sama, berjalan beriringan. Dari dua kali sehari, pagi dan petang menjadi satu kali saja. Dari sekali setiap hari turun menjadi tiga atau lima kali seminggu. Dari pengulangan tiga-tiga kali turun menjadi sekali lalu saja. Hal itu seolah berjalan turun dengan keteraturan yang terkadang tanpa disadari.
Aspek ibadah lain pun menemukan hal yang tidak jauh berbeda. Shalat sunat dhuha misalnya, dari setiap hari secara disiplin ditunaikan, perlahan turun menjadi beberapa kali saja dalam seminggu. Setelah mengalami secara kuantitas penurunan kualitaspun mengiringi. Rakaatnya menurun, doa dan zikirnya pun menurun. Bahkan tidak jarang pula hanya sekedar memenuhi “absensi” saja, shalat dua rakaat minus zikir dan doa.
Puasa sunnah seperti Senin Kamis juga mengalami hal serupa. Puasa pertengahan bulan pun mulai terlupakan dengan berbagai kesibukan. Alasannya tidak zahur atau kesibukan yang membutuhkan energy full tanpa puasa.
Belum cukup sampai di situ, ibadah pamungkas seperti qiyamul lail pun kian sepi bersama nyenyak lelap di dingin malam. Mata kian berat untuk bangkit dari tidur di malam hari, meski pun sejenak kita sempat tersintak dari lelap kita di sepertiga malam.
Parahnya lagi, kita juga mencari-cari alasan untuk memaklumi kondisi itu. Alasan kesibukan kerja yang membuat kita sulit shalat di awal waktu apalagi berjamaah ke mesjid. Alasan padatnya agenda dakwah yang membuat kita seolah tidak memiliki waktu untuk membaca alquran sebagaimana biasanya. Atau kesibukan yang tak terputus hingga pagi dan sore hari yang membuat kita sulit untuk membaca almaktsurat. Atau bisa jadi kepenatan yang tak berkesudahan yang membuat kita berat untuk bangkit dari tidur di sepertiga malam. Atau alasan lain yang sangat mungkin dicarikan atau dialaskan.
Inilah problema dakwah yang kita harapkan mampu membuka mata hati kita. Karena kita meyakini bahwa problema ini sedikitpun tidaklah diinginkan tapi tetap berpotensi untuk tumbuh subur karena belum ada ketegasan dari para aktivis dakwah untuk keluar dari sana.
Ketika tulisan ini ditulis dan dibaca, tentu kita tidak sedang meratapi atau menyalahkan kondisi ini. Kita tidak sedang manghujat kondisi ini dengan memutar memory dalam nostalgia indah. Kita juga tidak ingin terjebak dengan nostalgia bahwa dulu sangat begini dan begitu, yang pada intinya dulu fenomena seperti di atas sangatlah langka, dan yang banyak itu hanyalah fenomena dimana kita memiliki konsistensi dan disiplin yang kuat dalam menjalankan amalan-amalan penting seorang aktivis dakwah.
Tidak, sekali lagi kita tidak sedang berbicara tentang itu. Kita hanya ingin jujur membaca realitas dakwah hari ini dan kemudian menegaskan kembali, bahwa kerja besar ini juga membutuhkan energy besar. Cita-cita besar dakwah ini perlu ditopang oleh amunisi yang jauh lebih besar dari cita-cita itu. Dan kita harus selalu menjaga bagaimana energy dan amunisi besar itu tetap tersedia dengan konsistensi kita menyalakan reaktor-reaktor yang ada di dalam diri dan lingkungan sekitar kita. Itu saja.
Jadi, biarlah cita-cita dakwah ini terus menari bersama irama gerakan dakwah yang semakin menemukan keragaman corak dan medannya. Biarlah tantangan dakwah dan godaan yang ada di dalamnya menjadi simpony yang akan menyejukkan sekaligus mengokohkan hati-hati kita. Pada akhirnya, konsistensi kesholehan, doa, ikhtiar dan kesungguhan kita jualah yang akan membuat dakwah ini tetap ada di bumi dimana kita berada. Karena itu pulalah kita tidak ingin menjadi aktivis minimalis. Wallahu’alam.
by: mamanto fani
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar