Kamis, 03 Desember 2009
KIAT PRAKTIS MENGAJARKAN AL QUR’AN pada ANAK
Anak adalah amanah dari Allah swt. Tidak semua orang mendapatkan anugerah ini,
kecuali hanya orang-orang yang dikehendaki-Nya. Amanah ini harus dipelihara
secara baik dan terus menerus dengan memberinya pendidikan yang baik dan benar.
Seorang pendidik harus belajar bagaimana memberikan hak dan kewajibannya dengan
baik. Ia harus mengetahui perkembangan-perkembangan baru tentang metode dan
media pendidikan yang baik untuk menunaikan tugasnya, sehingga memperoleh hasil
yang maksimal.“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya”(HRAhmad).
Salah satu pekerjaan pendidik yang harus mendapatkan perhatian serius adalah
mencari metode yang tepat untuk mengajarkan Al Qur’an kepada anak-anak usia
dini. Mengajarkan Al Qur’an adalah salah satu dasar pendidikan Islam, sehingga
anak-anak tumbuh berdasarkan fitrah yang baik dan hati mereka dituntun oleh
hikmah sehingga mampu membendung polusi kesesatan dan keruhnya kemaksiatan.
Para sahabat Nabi Saw tahu benar betapa pentingnya menghafal Al Qur’an dan
pengaruhnya terhadap psikologis anak, maka mereka berlomba-lomba mengajarkan Al
Qur’an kepada anak-anak mereka, sebagai implementasi sabda Nabi saw
Mempelajari Al qur’an dapat memberikan pengaruh baik terhadap diri seseorang,
jika dilakukan dengan sungguh-sungguh dan menggunakan metode dan cara yang bias membuat anak mencintai Al-Qur’an. Mengajarkan Al Qur’an dengan cara yang baik tidak hanya membuat anak menjadi-cinta terhadap Al Qur’an tetapi juga meningkatkan kemampuan anak untuk mengingatdan memahami Al Qur’an. Dari sini kemudian terbentuk pemahaman pada anak bahwa menghafal Al Qur’an adalah amal dan perbuatan yang mulia. Oleh karena itu, perluditumbuhkan kecintaan anak terhadap Al Qur’ansebelum memulai menghafalnya. Hal ini perlu dilakukan karena menghafal Al-Qur’an tanpa didasari cinta terhadap Al-Qur’an tidak akan membuahkan apa-apa. Sebaliknya bahwa mencintai Al-Qur’an dibarengi dengan menghafalnya,akanmembentuk perilaku mulia dan beradab pada anak.
Seorang pendidik diharapkan menemukan jawaban dari beberapa pertanyaan dibawah ini:
1.apakah metode menghafal yang paling ideal untuk anak-anak
2. langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar anak mencintai Al Qur’an
3. apa saja kendala yang mungkin terjadi, dan apa solusinya
4. bagaimana menguji kecintaan anak terhadap Al Qur’an dan banyak pertanyaan lain yang berhubungan dengan keahlian dalam mendidik anak-anak untuk menghafal Al Qur’an.
Mengikat jiwa si anak dengan sosok teladan Rasulullah saw dan menumbuhkan cinta terhadap pribadi Rasul, merupakan cara terpenting yang dapat mendorong si anak untuk berkarya dan mengerahkan segenap kemampuan diri. Ibnu Abbas r.a. menuturkan,” Suatu malam saya tidur di rumah bibiku Maimunah. Memasuki sepertiga malam pertama, Rasulullah saw bangkit lalu mengambil tempat air kemudian berwudhu. Setelah itu beliau melakukan shalat. Aku pun bangun dan melakukan apa yang Rasulullah perbuat. Aku shalat di sebelah kiri Rasul. Lantas Rasul menggeserkanku ke sebelah kanan beliau. Rasul shalat dengan penuh khusyu’. Setelah itu beliau membaringkan badan sebelah kanannya, hingga tertidur. Lantas bangun kembali ketika adzan berkumandang mengajak shalat Shubuh. Rasul berangkat ke masjid dan menunaikannya.” (HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih Khuzaimah ).
Berdasarkan riwayat diatas, sangat jelas bagi kita betapa pentingnya mengikat
jiwa si anak dengan sosok Rasulullah yang serta merta dapat mencetak kepribadian
si anak menjadi manusia shalih, bertakwa serta mencintai Al Qur’an dan ilmu.
Dengan demikian, motivasi yang mendorong si anak untuk belajar adalah internal
dirinya sendiri yang bersumber dari keimanan yang mendalam dan cinta yang murni.
Tak ayal, motivasi semacam demikian adalah motivasi yang paling efektif dan
pengaruhnya sangat kuat. Disamping paling tahan banting dan bersifat konsisten.
Ketika spirit cinta Nabi menghujam dalam jiwa si anak, maka ketika si anak
mendengar hadits yang mengajak untuk mempelajari Al Qur’an, niscaya si anak
tersebut akan bersegera memenuhinya berkat dorongan cinta terhadap sang Nabi dan mengharapkan pahala dari Alloh Swt. Demikian salah satu dari 24 Kiat Membantu Anak Rajin Menghapal Al Qur’an. Anak bisa hapal Al Qur’an ? Semua orangtua muslim tentu mendambakannya. Fakta membuktikan, anak yang banyak hapalan Al Qur’an memiliki kecerdasan nalar, emosi dan spiritual yang seimbang.
Tapi mungkinkah itu putra-putri Anda ? Mungkinkah juga bagi anak didik Anda (bagi seorang guru di Taman Pendidikan Al Qur’an ). Jawabannya sangat mungkin.
Tentu setelah Anda sebagai orangtua/pendidik memahami dan menjalankan tips-tipsnya, selamet mempraktekkannya…….
Kamis, 12 November 2009
Rumah Tangga Sebagai Cermin Kepribadian Kader
MasyarakatRumah Tangga Sebagai Cermin Kepribadian Kader Islam bagaikan bangunan kokoh. Usrah (keluarga) bukan saja sebagai sendi terpenting dalam bangunan tersebut, tetapi juga menjadi unsur pokok bagi eksistensi umat Islam secara keseluruhan. Oleh sebab itu, agama Islam memberikan perhatian khusus masalah pembentukan keluarga ini.
Perhatian istimewa terhadap pembentukan usrah tersebut tercermin dalam beberapa hal, yaitu:
Pertama, Al-Qur’an menjabarkan cukup terinci tentang pembentukan keluarga ini. Ayat-ayat tentang pembinaan keluarga termasuk paling banyak jumlahnya dibandingkan dengan ayat-ayat yang menjelaskan masalah lain. Al-Qur’an menjelaskan tentang keutamaan menikah, perintah menikah, pergaulan suami-istri , menyusui anak, dan sebagainya.
Kedua, sejak dini As-Sunah telah mengajarkan takwinul usrah yang shalihah dengan cara memilih calon mempelai yang shalihah. Rasulullah SAW bersabda, “Pilihlah tempat untuk menanam benihmu karena sesungguhnya tabiat seseorang bisa menurun ke anak”
Rasulullah SAW suami teladan
Rasulullah SAW sejak masa remaja sudah terkenal sebagai orang yang bersih dan berbudi mulia. Ketika beliau menginjak umur 25 tahun menikahi Khadijah binti Khuwalid. Sejak saat itulah beliau mengarungi kehidupan rumah tangga bahagia penuh ketenteraman dan ketenangan.
Rasulullah SAW amat menghormati wanita, lebih-lebih istrinya. Beliau bersabda, “Tidaklah orang yang memuliakan wanita kecuali orang yang mulia dan tidaklah yang menghinakannya kecuali orang yang hina”. Menghormati istri adalah kewajiban suami. Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan agar menghormati dan berbuat baik terhadap istri. Kita tidak mendapatkan kata-kata dalam Al-Qur’an yang mengharuskan untuk berbuat baik dalam mempergauli istri, baik dalam keadaan marah atau tidak. Kecuali, ditekankan kewajiban berbuat ma’ruf dan ihsan terhadap istri dan dilarang menyakiti atau menyiksanya.
Perbuatan baik ini tidak terbatas pada perlakuan sopan terhadap istri saja tapi mencakup ketabahan dan kesabaran ketika menghadapi kemarahan istri sebagian kasih sayang atas kelemahannya. Rasulullah SAW menyatakan, “Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, bila kamu luruskan (dengan keras) maka berarti mematahkannya”. (Al-Hadits)
Rasulullah SAW amat sayang terhadap istri-istrinya. Beliau amat marah bila mendengar seorang wanita dipukul suaminya. Pernah datang seorang wanita mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa suaminya telah memukulnya. Maka beliau berdiri seraya menolak perlakuan tersebut dengan bersabda, “Salah seorang dari kamu memukul istrinya seperti memukul seorang budak, kemudian setelah itu memeluknya kembali, apakah dia tidak merasa malu?”
Ketika Rasulullah SAW mengizinkan memukul istri dengan pukulan yang tidak membahayakan, dan setelah diberi nasihat dan ancaman secukupnya. Beliau didatangi 70 wanita dan mengadu bahwa mereka dipukuli suami. Rasulullah SAW berpidato seraya berkata, “Demi Allah, telah banyak wanita berdatangan kepada keluarga Muhammad untuk mengadukan suaminya yang sering memukulnya. Demi Allah, mereka yang suka memukul istri tidaklah aku dapatkan sebagai orang-orang yang terbaik di antara kamu sekalian.”
Rasulullah SAW merupakan contoh indah dalam kehidupan rumah tangganya. Beliau sering bercanda dan bergurau dengan istri-istrinya. Dalam satu riwayat beliau balapan lari dengan Aisyah, terkadang beliau dikalahkan dan pada hari lain beliau menang. Beliau senantiasa menegaskan pentingnya bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepada istrinya. Kita banyak menjumpai hadits yang seirama dengan hadits berikut, “Orang mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaqnya dan paling lembut pada keluarganya”. Riwayat lain, “Sebaik-baik di antara kamu adalah yang paling baik pada keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku”.
Di antara yang menunjukkan keteladanan beliau dalam menghormati istri adalah menampakkan sikap lembut, penuh kasih sayang, tidak mengkritik hal-hal yang tak berguna dikritik, memaafkan kekeliruannya, dan memperbaiki kesalahannya dengan lembut dan sabar Bila ada waktu senggang beliau ikut membantu istrinya dalam mengerjakan kewajiban rumah tangganya,
Aisyah pernah ditanya tentang apa yang pernah dilakukan Rasulullah SAW di rumahnya. Beliau menjawab, “Rasulullah mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, dan bila datang waktu shalat dia pergi shalat.”
Rasulullah SAW memiliki kelapangan dada dan sikap toleran terhadap istrinya. Bila istrinya salah atau marah, beliau memahami betul jiwa seorang wanita yang sering emosional dan berontak. Beliau memahami betul bahwa rumah tangga adalah tempat yang paling layak dijadikan contoh bagi seorang dai, yaitu rumah tangga yang penuh kecintaan dan kebahagiaan. Kehidupan rumah tangga harus dipenuhi gelak tawa, kelapangan dada, dan kebahagiaan agar tidak membosankan.
Bila terpaksa harus bertindak tegas, beliau lakukan itu disertai dengan kelembutan dan kerelaan. Sikap keras dan tegas untuk mengobati keburukan dalam diri wanita sedangkan kelembutan dan kasih sayang untuk mengobati kelemahan dan kelembutan dalam dirinya.
Khadijah sebagai istri teladan.
Khadijah binti Khuwailid adalah seorang wanita bangsawan Quraisy yang kaya. Dia diberi gelar wanita suci di masa jahiliyah, juga di masa Islam. Banyak pembesar Quraisy berupaya meminangnya, akan tetapi beliau selalu menolak. Beliau pedagang yang sering menyuruh orang untuk menjualkan barang dagangannya keluar kota Mekkah.
Ketika beliau mendengar kejujuran Muhammad SAW, ia menyuruh pembantunya dan meminta Muhammad menjualkan barang dagangannya ke Syam bersama budak laki-laki bernama Maisyarah. Nabi Muhammad menerima permohonan itu dengan mendapatkan keuntungan besar dalam perjalanan pertama ini.
Setelah mendengar kejujuran dan kebaikan Muhammad, Khadijah tertarik dan meminta kawannya, Nafisah binti Maniyyah, untuk meminangkan Muhammad. Beliau menerima pinangan itu dan terjadilah pernikahan ketika beliau menginjak 25 tahun sedang Khadijah berumur 40 tahun.
Khadijah sebagai ummul mukminin telah menyiapkan rumah tangga yang nyaman bagi Nabi SAW. Sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika beliau sering berkhalwat di gua Hira, Khadijah adalah wanita pertama yang beriman kepadanya ketika Nabi mengajaknya masuk Islam. Khadijah adalah sebaik-baik wanita yang mendukung Rasulullah SAW dalam melaksanakan dakwahnya baik dengan jiwa, harta, maupun keluarganya. Perikehidupannya harum semerbak wangi, penuh kebajikan, dan jiwanya sarat dengan kehalusan.
Rasulullah SAW pernah menyatakan dukungan ini dengan sabdanya, ”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang ingkar, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku dan dia menolongku dengan hartanya ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku
anak darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selainnya”. (H.R. Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya)
Khadijah amat setia dan taat kepada suaminya, bergaul dengannya, siap mengorbankan kesenangannya demi kesenangan suaminya dan membesarkan hati suaminya di kala merasa ketakutan setelah mendapatkan tugas kenabian. Beliau gunakan jiwa dan semua harta miliknya untuk mendukung Rasul dan kaum Muslimin. Pantaslah kalau beliau dijadikan sebagai istri teladan pendukung risalah dakwah Islamiyah.
Khadijah mendampingi Nabi SAW selama seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah, menolongnya di waktu-waktu sulit, membantunya dalam menyampaikan risalah, ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad, dan menolongnya dengan jiwa dan hartanya.
Rasulullah SAW senantiasa menyebut-nyebut kebaikan Khadijah selama hidupnya sehingga ini pernah membuat Aisyah cemburu kepada Khadijah yang telah tiada. Dengan ketaatan dan pengorbanan yang luar biasa ini, pantas kalau Allah SWT menyampaikan salam lewat malaikat Jibril seperti yang pernah diungkapkan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits, “Jibril datang kepada Nabi lalu berkata, wahai Rasulullah, ini Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah, makanan dan minuman, apabila datang kepadamu sampaikan salam dari Tuhannya dan beritahukan kepadanya tentang sebuah rumah di surga, terbuat dari mutiara yang tiada suara gaduh di dalamnya dan tiada kepenatan.” (H.R Bukhari)
Itulah sekelumit tentang sosok Khadijah sebagai seorang istri yang layak dijadikan teladan bagi wanita-wanita sekarang dalam mendukung suami melaksanakan kewajiban dakwah dan menyampaikan risalah Islam .
Ciri-ciri rumah tangga kader dakwah
1. Sendi bangunan keluarga kader adalah taqwallah. Taqwa merupakan sendi yang kuat untuk bangunan usrah Islamiyah. Memilih istri harus sesuai dengan taujih Rasulullah, yaitu mengutamakan sisi agama.
2. Kebahagiaan rumah tangga bukanlah berdasarkan atas kesenangan materi saja tapi kebahagiaan hakiki harus muncul dari dalam jiwa berupa ketaqwaan kepada Allah SWT. Bila taqwa telah menjadi sendi utama, maka kekurangan material apapun akan menjadi ringan. Dengan taqwa akan memunculkan tsiqah antara keduanya sehingga akan melahirkan ketenteraman dan ketenangan. Dengan ketaqwaan, hubungan antara suami dan istri serta anak-anaknya akan menjadi indah karena semua akan sadar akan tanggung jawabnya dan hak-haknya.
3. Rumah yang dibangun untuk keluarga kader seharusnya sederhana, mengutamakan dharuriyyat (prioritas), mengurangi hal-hal yang tersier, dan tidak ada israf.
4. Dalam masalah pakaian dan makanan hendaknya menjauhi israf, mewah-mewahan, tapi justru harus menekankan masalah kesederhanaan, kebersihan, menghindari yang haram. Rumah tangga kader lebih mengutamakan memperbanyak sedekah untuk fakir dan miskin. Nasihat pada setiap kader dalam hal makanan harus selalu halal dan baik, menjauhi yang haram dan yang syubhat
5. Sekitar anggaran rumah tangga haruslah menjadi contoh . Dalam hal ini kita harus:
a. mencari rezki yang halal dan baik serta menjauhi yang haram. Sebab, semua daging yang lahir dari barang haram maka api neraka lebih berhak untuk membakarnya.
b. Perlu ada kesepakatan antara suami dan istri dalam menentukan anggaran belanja rumah tangga, untuk apa saja penggunaan anggaran tersebut. Yang jelas, pengeluaran tidak boleh melebihi penghasilan
c. Mencukupkan diri dengan hal-hal yang dharuriyyat dan menjauhi hal-hal yang sifatnya kamaliyat semampu mungkin.
d. Memperhatikan hak Allah SWT seperti menunaikan zakat, menunaikan ibadah haji kalau sudah mampu. Dalam rumah tangga diutamakan bila mampu menyediakan kotak khusus untuk sedekah. Wallahu a’lam.
4
Cinta sejati seorang ibu terhadap anak-anaknya
Wanita itu sudah tua, namun semangat perjuangannya tetap menyala seperti wanita yang masih muda. Setiap tutur kata yang dikeluarkannya selalu menjadi pendorong dan bualan orang disekitarnya. Maklumlah, ia memang seorang penyair dua zaman, maka tidak kurang pula bercakap dalam bentuk syair. Al-Khansa bin Amru, demikianlah nama wanita itu. Dia merupakan wanita yang terkenal cantik dan pandai di kalangan orang Arab. Dia pernah bersyair mengenang kematian saudaranya yang bernama Sakhr :
"Setiap mega terbit, dia mengingatkan aku pada Sakhr, malang. Aku pula masih teringatkan dia setiap mega hilang dii ufuk barat Kalaulah tidak kerana terlalu ramai orang menangis di sampingku ke atas mayat-mayat mereka, nescaya aku bunuh diriku."
Setelah Khansa memeluk Islam, keberanian dan kepandaiannya bersyair telah digunakan untuk menyemarakkan semangat para pejuang Islam. Ia mempunyai empat orang putera yang kesemuanya diajar ilmu bersyair dna dididik berjuang dengan berani. Kemudian puteranya itu telah diserahkan untuk berjuang demi kemenangan dan kepentingan Islam. Khansa telah mengajar anaknya sejak kecil lagi agar jangan takut menghadapi peperangan dan cabaran.
Pada tahun 14 Hijrah, Khalifah Umar Ibnul Khattab menyediakan satu pasukan tempur untuk menentang Farsi. Semua Islam dari berbagai kabilah telah dikerahkan untuk menuju ke medan perang, maka terkumpullah seramai 41,000 orang tentera. Khansa telah mengerahkan keempat-empat puteranya agar ikut mengangkat senjata dalam perang suci itu. Khansa sendiri juga ikut ke medan perang dalam kumpulan pasukan wanita yang bertugas merawat dan menaikkan semangat pejuan tentera Islam.
Dengarlah nasihat Khansa kepada putera-puteranya yang sebentar lagi akan ke medan perang, "Wahai anak-anakku! Kamu telah memilih Islam dengan rela hati. Kemudian kamu berhijrah dengan sukarela pula. Demi Allah, yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya kamu sekalian adalah putera-putera dari seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tidak pernah mengkhianati ayahmu, aku tidak pernah memburuk-burukkan saudara-maramu, aku tidak pernah merendahkan keturuna kamu, dan aku tidak pernah mengubah perhubungan kamu. Kamu telah tahu pahala yang disediakan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam memerangi kaum kafir itu. Ketahuilah bahwasaya kampung yang kekal itu lebih baik daripada kampung yang binasa."
Kemudian Khansa membacakan satu ayat dari surah Ali Imran yang bermaksud, "Wahai orang yang beriman! Sabarlah, dan sempurnakanlah kesabaran itu, dan teguhkanlah kedudukan kamu, dan patuhlah kepada Allah, moga-moga menjadi orang yang beruntung." Putera-putera Khansa tertunduk khusyuk mendengar nasihat bonda yang disayanginya.
Seterusnya Khansa berkata, "Jika kalian bangun esok pagi, insya Allah dalam keadaan selamat, maka keluarlah untuk berperang dengan musuh kamu. Gunakanlah semua pengalamanmu dan mohonlah pertolongan dari Allah. Jika kamu melihat api pertempuran semakin hebat dan kamu dikelilingi oleh api peperangan yang sedang bergejolak, masuklah akmu ke dalamnya. Dan dapatkanlah puncanya ketika terjadi perlagaan pertempurannya, semoga kamu akan berjaya mendapat balasan di kampung yang abadi, dan tempat tinggal yang kekal."
Subuh esoknya semua tentera Islam sudah berada di tikar sembahyang masing-masing untuk mengerjakan perintah Allah iaitu solat Subuh, kemudian berdoa moga-moga Allah memberikan mereka kemenangan atau syurga. Kemudian Saad bin Abu Waqas panglima besar Islam telah memberikan arahan agar bersiap-sedia sebaik saja semboyan perang berbunyi. Perang satu lawan satu pun bermula dua hari. Pada hari ketiga bermulalah pertempuran besar-besaran. 41,000 orang tentera Islam melawan tentera Farsi yang berjumlah 200,000 orang. Pasukan Islam mendapat tentangan hebat, namun mereka tetap yakin akan pertolongan Allah .
Putera-putera Khansa maju untuk merebut peluang memasuki syurga. Berkat dorongan dan nasihat dari bondanya, mereka tidak sedikit pun berasa takut. Sambil mengibas-ngibaskan pedang, salah seorang dari mereka bersyair,
"Hai saudara-saudaraku! Ibu tua kita yang banyak pengalaman itu, telah memanggil kita semalam dan membekalkan nasihat. Semua mutiara yang keluar dari mulutnya bernas dan berfaedah. Insya Allah akan kita buktikan sedikit masa lagi."
Kemudian ia maju menetak setiap musuh yang datang. Seterusnya disusul pula oleh anak kedua maju dan menentang setiap musuh yang mencabar. Dengan semangat yang berapi-api ia bersyair,
"Demi Allah! Kami tidak akan melanggar nasihat dari ibu tua kami Nasihatnya wajib ditaati dengan ikhlas dan rela hati Segeralah bertempur, segeralah bertarung dan menggempur mush-musuh bersama-sama Sehingga kau lihat keluarga Kaisar musnah."
Anak Khansa yang ketiga pula segera melompat dengan beraninya dan bersyair,
"Sungguh ibu tua kami kuat keazamannya, tetap tegas tidak goncang Beliau telah menggalakkan kita agar bertindak cekap dan berakal cemerlang Itulah nasihat seorang ibu tua yang mengambil berat terhadap anak-anaknya sendiri Mari! Segera memasuki medan tempur dan segeralah untuk mempertahankan diri Dapatkan kemenangan yang bakal membawakegembiraan di dalam hati Atau tempuhlah kematian yang bakal mewarisi kehidupan yang abadi."
Akhir sekali anak keempat menghunus pedang dan melompat menyusul abang-abangnya. Untuk menaikkan semangatnya ia pun bersyair,
"Bukanlah aku putera Khansa', bukanlah aku anak jantan Dan bukanlah pula kerana 'Amru yang pujiannya sudah lama terkenal Kalau aku tidak membuat tentera asing yang berkelompok-kelompok itu terjunam ke jurang bahay, dan musnah mangsa oleh senjataku."
Bergelutlah keempat-empat putera Khansa dengan tekad bulat untuk mendapatkan syurga diiringi oleh doa munajat bondanya yang berada di garis belakang. Pertempuran terus hebat. Tentera Islam pada mulanya kebingungan dan kacau kerana pada mulanya tentera Farsi menggunakan tentera bergajah di barisan hadapan, sementara tentera berjalan kaki berlindung di belakang binatang tahan lasak itu. Namun tentera Islam dapat mencederakan gajah-gajah itu dengan memanah mata dan bahagian-bahagian lainnya. Gajah yang cedera itu marah dengan menghempaskan tuan yang menungganginya, memijak-mijak tentera Farsi yang lannya. Kesempatan ini digunakan oleh pihak Islam untuk memusnahkan mereka. Panglima perang bermahkota Farsi dapat dipenggal kepalanya, akhirnya mereka lari lintang-pukang menyeberangi sungai dan dipanah oleh pasukan Islam hingga air sungai menjadi merah. Pasukan Farsi kalah teruk, dari 200,000 tenteranya hanya sebahagian kecil saja yang dapat menyelamatkan diri.
Umat Islam lega. Kini mereka mengumpul dan mengira tentera Islam yang gugur. Ternyata yang beruntung menemui syahid di medan Kadisia itu berjumlah lebih kurang 7,000 orang. Dan daripada 7,000 orang syuhada itu terbujur empat orang adik-beradik Khansa. Seketika itu juga ramailah tentera Islam yang datang menemui Khansa memberitahukan bahwa keempat-empat anaknya telah menemui syahid. Al-Khansa menerima berita itu dengan tenang, gembira dan hati tidak bergoncang. Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan,
"Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka, dan aku mengahrapkan darii Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya!"
Al-Khansa kembali semula ke Madinah bersama para perajurit yang masih hidup dengan meninggalkan mayat-mayat puteranya di medan pertempuran Kadisia. Dari peristiwa peperanan itu pula wanita penyair ini mendapat gelaran kehormatan 'Ummu syuhada yang ertinya ibu kepada orang-orang yang mati sy
Kamis, 20 Agustus 2009
Canda dan Gurauan Rasulullah
Rasulullah SAW bergaul dengan semua orang. Baginda menerima hamba, orang buta, dan anak-anak. Baginda bergurau dengan anak kecil, bermain-main dengan mereka, bersenda gurau dengan orang tua. Akan tetapi Baginda tidak berkata kecuali yang benar saja.
Suatu hari seorang perempuan datang kepada beliau lalu berkata, "Ya Rasulullah! Naikkan saya ke atas unta", katanya. "Aku akan naikkan engkau ke atas anak unta", kata Rasulullah SAW. "Ia tidak mampu", kata perempuan itu. "Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta". "Ia tidak mampu". Para sahabat yang berada di situ berkata, "bukankah unta itu juga anak unta?"
Datang seorang perempuan lain, dia memberitahu Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, suamiku jatuh sakit. Dia memanggilmu". "Semoga suamimu yang dalam matanya putih", kata Rasulullah SAW. Perempuan itu kembali ke rumahnya. Dan dia pun membuka mata suaminya. Suaminya bertanya dengan keheranan, "kenapa kamu ini?". "Rasulullah memberitahu bahwa dalam matamu putih", kata istrinya menerangkan. "Bukankah semua mata ada warna putih?" kata suaminya.
Seorang perempuan lain berkata kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dimasukkan ke dalam syurga". "Wahai ummi fulan, syurga tidak dimasuki oleh orang tua". Perempuan itu lalu menangis. Rasulullah menjelaskan, "tidakkah kamu membaca firman Allah ini,
Serta kami telah menciptakan istri-istri mereka dengan ciptaan istimewa, serta kami jadikan mereka senantiasa perawan (yang tidak pernah disentuh), yang tetap mencintai jodohnya, serta yang sebaya umurnya".
Para sahabat Rasulullah SAW suka tertawa tapi iman di dalam hati mereka bagai gunung yang teguh. Na'im adalah seorang sahabat yang paling suka bergurau dan tertawa. Mendengar kata-kata dan melihat gelagatnya, Rasulullah turut tersenyum.
Rabu, 05 Agustus 2009
RI’AYAH MA’NAWIYAH (2)
Pertama, at-tawazun fit tauzhif, keseimbangan dalam memfungsikan potensi yang tersedia, potensi yang ada pada ikhwan dan akhwat, apakah potensi itu, potensi intelektual dengan tsaqafah kauniyahnya ataukah potensi ulama dengan tsaqafah syar’iyahnya ataukah potensi para praktisi bisnis apakah para budayawan, para seniman, para pedagang menengah, pedagang kecil, para pendidik, para sosiolog, seluruhnya harus seimbang terfungsikan. Saya sebutkan seimbang, terfungsikan, mengingat selain fungsi-fungsi dakwah, mereka pun dituntut akan fungsi-fungsi dari kafaah masing-masing. Kafaah mereka sebagai mu’allim, kafaah mereka sebagai mudarris kafaah mereka sebagai birokrat, kafaah mereka sebagai politisi, kafaah mereka sebagai pedagang dan kafaah-kafaah yang lain juga perlu difungsikan, karena semuanya adalah bagian dari khazanatud da’wah. Sekali lagi harus dengan tawazun, at-tawazun fit tauzhif. Allahu akbar walillahil hamd
Ikhwan dan akhwat fillah,
Yang kedua, at-tawazun fit tafwidh, keseimbangan dalam pendelegasian wewenang. Ikhwan dan akhwat semuanya masulin dan masulat amamallah, jangan sampai menjadi seksi sibuk sementara yang lainnya tidak kebagian pekerjaan, karena kurang pendelegasian. Pendelegasian pekerjaan sudah barang tentu dengan keseimbangan. Jangan sampai dengan alasan kekurangan pendelegasian akhirnya si pemegang wewenang tidak melakukan apa-apa. Itu namanya tidak seimbang.
At-tawazun fit-tafwidh, seimbang dalam mendelegasikan wewenangnya, seimbang dalam melalui saluran-saluran wazhifah tanzhimiyah yang tersedia di bawah tanggung jawabnya kita salurkan, karena dengan kurang seimbangnya kadar atau tafwidh pendelegasian maka akan terjadi akumulatif kesibukan, tertumpuknya kerepotan, yang akhirnya kadang-kadang menuntut diri kita menjadi otoriter, dictator, karena semuanya harus memutuskan sendiri. Padahal banyak hal yang sebetulnya bisa didelegasikan untuk memutuskan. Oleh karena itu sekali lagi at-tawazun fit-tafwidh itu harus dilakukan agar seluruh fungsionaris, ikhwan dan akhwat di jajarannya masing-masing bisa mustaqir tanzhimiyan (stabil secara struktural)
Yang ketiga, at-tawazun fit-taqrir (keseimbangan dalam pengambilan keputusan), sebab pendelegasian wewenang tanpa diberi hak mengambil keputusan dalam bidangnya juga adalah pendelegasian yang mubadzir, pendelegasian yang membuat terbengkalainya potensi orang yang menerima pendelegasian itu, makanya harus ada juga keseimbangan dalam pengambilan keputusan.
Yang keempat, at-tawazun fit-tamtsil (keseimbangan dalam perwakilan), artinya fungsi-fungsi, tugas-tugas, pendelegasian-pendelegasian yang kita berikan harus juga seimbang kepada potensi-potensi semuanya merasa terwakili; potensi ulama, intelektual, potensi birokrat, potensi teknokrat, potensi bisnismen, potensi pendidik, seluruhnya terwakili, tawazun fit-tamtsil. Mengingat jamaah kita ini semakin luas dari segi tajnid jamahiri dimana para tokoh-tokoh, pakar-pakar, shahibul kafaah bergabung dengan kita atau fit tajnid rekruiting kaderisasi sudah menampakkan aneka ragam kafaah, aneka ragam muyul, yang kita rekrut, sudah barang tentu mereka secara structural merasa terwakili. Ini harus diperhatikan mengingat qa’idah tanzhimiyah kita semakin luas semakin menjangkau aneka entitas kemasyarakatan.
Ikhwan dan akhwat fillah,
Semuanya bisa mengekspresikan, bisa mengaktualisasikan, bahkan bisa mengartikulasikan ide-idenya, pendapat-pendapatnya, bakat-bakatnya, ahli-ahlinya, seluruhnya tampil dalam hidup kejamaahan yang memang membutuhkan mereka semua karena doktrin kesyumuliyahannya dan ketakamuliyahannya.
Yang kelima, at-tawazun fi tamwil, sebagai dukungan bagi kokohnya tawazun fi tauzhif, tawazun fi tafwidh, tawazun fi taqrir dan tawazun fi tamtsil jama’ah. Kita memerlukan tawazun fi tamwil. Kekokohan istiqrar tanzhimi selalu membutuhkan keseimbangan anggaran, keseimbangan pendanaan, atau keseimbangan pembiayaan. Karena amwal merupakan darah dari aktivitas manusia, begitu juga gerakan dakwah kita memerlukan darah itu, sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Al-Qur’an surat At-Taubah: 41,
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. At-Taubah: 41)
Ikhwan dan akhwat fillah,
Keseimbangan anggaran dalam jamaah adalah merupakan keharusan, jangan sampai terjadi adanya bidang miskin dan bidang kaya, atau departemen ‘basah’ dan departemen ‘kering’, atau wilayah dakwah gemuk dan wilayah dakwah kurus. Untuk terjaganya tawazun fi tamwil atau keseimbangan anggaran, atau keseimbangan pembiayaan diperlukan dua hal:
Pertama, adanya keadilan anggaran antar pusat dan daerah, antara wilayah, dan antar bidang, antar departemen. Keadilan anggaran juga berarti keharusan memperhatikan keseimbangan antara kemampuan otoritas keuangan jamaah dalam memenuhi anggaran dengan tuntutan kebutuhan bidang-bidang, departemen-departemen, dan wilayah-wilayah atas anggaran
Kedua, adanya semangat ta’awun, semangat tadhamum, dan semangat takaful antar bidang, antar departemen, antar wilayah dan bahkan antar personil jamaah dakwah ini, sehingga jamaah dakwah ini benar-benar menjadi 'kal jasadil wahid’ yang seluruh komponennya saling merespon satu sama lain secara proaktif.
Istiqrar Da'wi
Ikhwan dan akhwat fillah, jika istiqrar tanzhimi tadi bisa terwujud dengan seluruh muqawwimat-nya yang lima tersebut terpenuhi, maka, insya Allah terjadilah istiqrar da'wi, dakwah kita stabil, jalan terus. Guncangan apapun tidak akan membuat kita terguling, jebakan apapun tidak akan membuat kita terperosok, situasi apapun kita tidak membuat kita terkecoh, insya Allah dakwah yang mustaqirrah, istiqrar da’wi itu adalah sangat penting dalam rangka mewujudkan matanatul jamaah tadi.
Hayawiyatul Harakah
Ikhwan dan akhwat fillah, kemudian yang ingin saya sampaikan tadi yang kedua adalah hayawiyatul harakah (masalah dinamika harakah). Dinamika harakah ini juga mempunyai keterkaitan dengan aspek manajerial yang sering saya sebutkan sebagai khuthuwat tahfizhiyah (langkah-langkah penggairahan, pembangkitan semangat) dari seluruh anggota jamaah ini, dari seluruh aktivis dakwah ini seperti yang sering saya sebutkan,
1. Pertama, musyarakah ‘inda ittikhadzil qarar (keterlibatan dalam mengambil keputusan), syuriyan wa istisyaratan, secara isytisyarah konsultatif (syura secara informal),
2. Kedua, at-tasyji’ ‘indal ijtihad (membangkitkan semangat berijtihad), berani mengemukakan pendapat, berani memberikan kontribusi pemikiran, berani memasukkan usulan-usulan harus digalakkan. Karena salah satu potensi besar yang dianugerahkan Allah pada kemanusiaan adalah akal. Kalau akal para aktivis duat dan daiyat tidak dirangsang untuk berijtihad maka akal mereka akan terbengkalai, artinya kita telah menelantarkan potensi terbesar dari kemanusiaan yang merupakan anugerah Allah Taala. At-tasyji’ ‘indal ijtihad adalah merupakan dari bagian dari keseharian manajemen dakwah.
3. Ketiga, ad-da’m ‘inda tanfizh (memberikan dukungan dalam melaksanakan tugas-tugas). Mungkin dukungan itu berupa yang mubarakah; Allah yanshurkum, Allahu yutsabbit aqdaamakum atau bahkan dengan memikirkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam back-up dalam pelaksanaan tugas-tugas kita pikirkan bersama. Jika setiap ikhwan dan akhwat di lapangan merasa bahwa ia tidak berjalan sendirian, ada ikhwan dan akhwat yang mendukungnya, ada ikhwan dan akhwat yang mendukung dengan menyediakan fasilitas sarana dan prasarana, ada ikhwan dan akhwat yang memberikan dukungan pemikiran, ada ikhwan dan akhwat yang melakukan tawashau bil haq, tawashau bis shabr, dan tawashau bil marhamah, yang menuntun dari kemungkinan-kemungkinan terpeleset kepada kesalahan, dan membantu mengokohkan kesabaran dalam menghadapi tantangan, juga yang menolong ketika mengalami kesulitan atau musibah dengan penuh kasih sayang, maka dia akan semakin dinamis dalam bergerak. Hayawiyatul harakah adalah salah satu bagian dari yang harus diperhatikan melalui khuthuwat tahfizhiyah tadi.
4. Keempat, al-i’tiraf wat taqdir ‘indal injaz (pengakuan dan penghargaan ketika berkarya). Karena sudah menjadi fitrah manusia, selain dia perlu pengakuan akan eksistensi dirinya, tapi juga perlu penghargaan atas prestasi dirinya jazaan bima kanu ya’malun itulah yang dicontohkan oleh Allah Taala, selalu ditawarkan al-jaza, al-jaza, dan al-jaza. Sudah barang tentu kita tahu bahwa seluruh duat dan daiyat motivasinya lillahi Taala. Laa uridu minhum jazaan au syukura, bahasanya memang begitu yang menjadi landasan keyakinannya dalam berjuang tapi sebagi jamaah sudah barang tentu harus menghargai setiap fitrah dari setiap aktivis dakwah. Jika berprestasi kita berikan jazaan au syukura, kalau tidak memberikan imbalan berilah ucapan terima kasih atas prestasinya.
5. Kelima, al-insyaf indal khatha’ (keinsyafan ketika dia melakukan kesalahan) sehingga jika dia bersalah pun disambut dengan sikap afwan watasamuha. Bukan saja berprestasi kita sambut dengan jazaan aw syukura tetapi jika bersalah pun afwan wa tasamuha (pemaafan dan toleransi). Kita mengakui hak kemanusiaan untuk kemungkinan bersalah jangan sampai akibat kesalahannya seorang ikhwan, seorang akhwat dilecehkan, didiskreditkan sehingga potensinya hancur di perjalanan. Padahal kesalahannya itu hanya sebuah kepeseletan dari sekian ribu langkah dakwahnya yang sudah diayunkan selama ini dengan benar. Kita jangan membunuh masa depan mereka, masa depan dakwah mereka. Karenanya lihat tuntunan manajemen dakwah Allah Taala.
Jika terjadi kesalahan, fa’fu anhum, maafkan mereka, wastaghfir lahum, bahkan secara proaktif memohonkan ampunan baginya dari Allah Taala, dan bahkan sesudah salah pun masih diperintahkan fasyawirhum fil amri, masih diajak musyawarah. Sudah mendapatkan afwu wa thalabul maghfirah, fasyawirhum fil amri, Sehingga bangkit kembali azam dia untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sehingga memiliki kembali tekad bersama faidza ‘azamta fatawakkal alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin.
Ikhwan dan akhwat fillah, khuthuwat tahfizhiyah ini untuk memelihara hayawiyatud da’wah. Untuk memelihara hayawiyatud da’wah kita harus mendorong:
1. Semangat interaktif dari seluruh kader-kader dakwah dengan segala permasalah Islam wal muslimin, segala permasalahan bangsa dan tanah air, segala permasalahan dunia dan kemanusiaan. Dengan semangat interaktif terus-menerus dengan segala qadhaya, Islam wa qadhaya ummah, qadhaya wathan wal qaum, wa qadhaya insaniyah wa ‘alamiyah, insya Allah, kegairahan itu bisa terpelihara.
2. Syajaah adabiyah, keberanian moral untuk melangkah karena sadar akan tanggung jawabnya dalam perjalanan dakwah ini.
3. Jur-atul mubadarah, keberanian untuk berinisiatif, keberanian untuk melangkah, keberanian untuk melakukan sesuatu, if’al syai’an lillah, if’al syai’an lil islam wal muslimin, dia lakukan sesuatu, berani dengan jur-atul mubadarah. dengan keberanian berinisiatif.
4. Jur-atul ibtikarah, keberanian berkreativitas, menemukan asalib jadidah (metode-metode baru), wasail jadidah (sarana/prasarana baru) dan mungkin ijra-at jadidah (prosedur-prosedur baru) untuk mensukseskan dakwah ini. Ikhwan dan akhwat fillah insya Allah dengan dua hal tadi hayawiyatul harakah (dinamika gerakan) dakwah kita akan dipelihara dengan terus menerus.
5. Keberanian menghadapi kenyataan, apapun adanya kenyataan yang kita hadapi, kita harus bisa mengontrol diri, dan kemampuan mengontrol diri merupakan langkah awal untuk mampu mengontrol keadaan dan bahkan mampu merubah keadaan menjadi lebih baik.
Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka… (Q.S. Ali Imran: 159)
Intajiyatud Da’wah
Munthalaq da’wah kita yang ketiga adalah intajiyatud da’wah (produktivitas dakwah) . Berdakwah sering kali hasilnya itu bernilai substansial tapi secara material tidak ril kelihatan. Kadang-kadang kita bekerja, bekerja, bekerja,.. apa ya hasilnya? Sudah barang tentu ada ukuran-ukuran yang menandai keberhasilan dakwah itu. Tapi ukuran-ukuran itu memang cenderung normatif tapi bisa dijadikan patokan, yaitu pertama intajiyatud da’wah kita bimayurdhillah (dengan apa-apa yang membuat Allah ridha. Dan keridhaan Allah yang diturunkan kepada para dai membuat dia, hatinya dikucuri rahmat oleh Allah sehingga hatinya lembut (rahabatush shadr), santun, fabima rahmatillahi linta lahum. Jadi ada refleksi dari hasil dakwah yang menghasilkan ridha Allah yaitu hati yang penuh dengan ghamarati rahmatillah (curahan rahmat Allah) yang qulub layyinah, mutasamihah (hati yang lembut, santun toleran dan seterusnya. Itu tandanya ada keberhasilan bima yurdhillah. Begitu juga bima yanfa’ul islam wal muslimin, yang kedua, keberhasilan dakwah dengan memberikan manfaat kepada Islam dan muslimin. Ini responnya akan nampak lebih jelas lebih real kelihatannya yaitu kalau kita melakukan perintah Allah dengan uslubul ihsan saja, salah satu uslubnya wa ahsin kama ahsanallahu ilaik, sudah barang tentu, hal jazaul ihsan illal ihsan. Kalau kita nuhsinu lin nas bima yanfa'uhum mereka pun akan yuhsinu bid da'wah bima yanfa’ul jamaah. Otomatis saja, kalau kita selalu berbuat memproduk keihsanan bima yanfa’ul islam wal muslimin. Otomatis al-muslimun yuhsinuna ilaina bima yanfaud da’wah wal jamaah. Itu otomatis.
Coba kita hitung perjalanan dakwah kita sekian puluh tahun atau sekian belas tahun. Betapa kontribusi dari al-muslimin wal muhsinun lid da’wah terasa. Di tahun pertengahan 80-an, liqaat ikhwan dan akhwat tidak diketemukan mobil bahkan motor pun jarang Sekarang tempat parkir pun sempit oleh mobil-mobil para duat, itu adalah bima ahsanallahu ilaikum. Itulah ihsan Allah kepada antum semua setelah berbuat ihsan dalam dakwah, berbuat itqan dalam dakwah, sehingga orang-orang pun ikut yuhsinuna ila da’watina wa ila jamaatina. Dulu kita untuk menyelenggarakan pertemuan semacam ini berpikir beberapa kali untuk mengeluarkan uang; sewa gedung dengan segala sarana/prasarana, karena ketidakmampuan kita. Tapi faqad ahsanallahu ilaina, karena Allah telah berbuat ihsan kepada kita, oleh karena itu sekali lagi fa ahsin kama ahsanallahu ilaih, kita tingkatkan keihsanan kita karena Allah telah terbukti meningkatkan keihsanannya kepada kita.
Ikhwan dan akhwat fillah, sudah barang tentu terkait dengan intajiyatud da’wah juga selain bima yanfaul islam wal muslimin atau bima yanfa’unnas atau bima yurdhillah (dengan membuat Allah ridha) kita pun harus berpikir juga bimaa yunasyitud da’wah, apa yang membuat aktivitas dakwah
meningkat, gairah dakwah meningkat, gelora dakwah meningkat. Sudah barang tentu kegairahan, gelora dakwa sesuatu yang fenomena bisa dirasakan atau dilihat. Jika betul-betul langkah-langkah dakwah kita memberikan manfaat kepada semua, sudah barang tentu kegairahan itu akan meningkat merata, imma qudwatan, untuk merupakan keteladanan atau juga da’m, support yang diberikan.
Ikhwan dan akhwat fillah, begitu juga bima yutsabbitul jamaah, manfaat itu dengan apa-apa yang mengokohkan kejamaahan kita. Apakah kontribusi, na'udzubillah membuat kita longgarnya kehidupan berjamaah membuat goyangnya kehidupan berjamaah na'udzubillah min dzalik. Atau kontribusi kita justru mengokohkan jamaah dan semuanya bisa dirasakan secara langsung dalam kehidupan struktural kita dan operasional kita dalam berdakwah.
Insya Allah, ikhwan dan akhwat fillah, jika kita berusaha memenuhi tuntutan-tuntutan dari soliditas jamaah, hayawiyatul harakah dan intajiyatud da’wah yang saya sebutkan tadi tantangan-tantangan yang kita hadapi, pekerjaan berat yang akan kita pikul, tanggung jawab yang luar biasa berat yang akan kita hadapi, insya Allah dengan dipikul secara amal jama’i semuanya akan terasa ringan dan terselesaikan binashrin minallah, Insya Allah.
Allahu yanshurukum wa yutsabbit aqdamakum, insya Allah. Amin ya rabbal alamin. Sekian saja kalimat dari saya, semoga tulisan ini bermanfaat....
Ikhwan dan akhwat fillah,
Yang kedua, at-tawazun fit tafwidh, keseimbangan dalam pendelegasian wewenang. Ikhwan dan akhwat semuanya masulin dan masulat amamallah, jangan sampai menjadi seksi sibuk sementara yang lainnya tidak kebagian pekerjaan, karena kurang pendelegasian. Pendelegasian pekerjaan sudah barang tentu dengan keseimbangan. Jangan sampai dengan alasan kekurangan pendelegasian akhirnya si pemegang wewenang tidak melakukan apa-apa. Itu namanya tidak seimbang.
At-tawazun fit-tafwidh, seimbang dalam mendelegasikan wewenangnya, seimbang dalam melalui saluran-saluran wazhifah tanzhimiyah yang tersedia di bawah tanggung jawabnya kita salurkan, karena dengan kurang seimbangnya kadar atau tafwidh pendelegasian maka akan terjadi akumulatif kesibukan, tertumpuknya kerepotan, yang akhirnya kadang-kadang menuntut diri kita menjadi otoriter, dictator, karena semuanya harus memutuskan sendiri. Padahal banyak hal yang sebetulnya bisa didelegasikan untuk memutuskan. Oleh karena itu sekali lagi at-tawazun fit-tafwidh itu harus dilakukan agar seluruh fungsionaris, ikhwan dan akhwat di jajarannya masing-masing bisa mustaqir tanzhimiyan (stabil secara struktural)
Yang ketiga, at-tawazun fit-taqrir (keseimbangan dalam pengambilan keputusan), sebab pendelegasian wewenang tanpa diberi hak mengambil keputusan dalam bidangnya juga adalah pendelegasian yang mubadzir, pendelegasian yang membuat terbengkalainya potensi orang yang menerima pendelegasian itu, makanya harus ada juga keseimbangan dalam pengambilan keputusan.
Yang keempat, at-tawazun fit-tamtsil (keseimbangan dalam perwakilan), artinya fungsi-fungsi, tugas-tugas, pendelegasian-pendelegasian yang kita berikan harus juga seimbang kepada potensi-potensi semuanya merasa terwakili; potensi ulama, intelektual, potensi birokrat, potensi teknokrat, potensi bisnismen, potensi pendidik, seluruhnya terwakili, tawazun fit-tamtsil. Mengingat jamaah kita ini semakin luas dari segi tajnid jamahiri dimana para tokoh-tokoh, pakar-pakar, shahibul kafaah bergabung dengan kita atau fit tajnid rekruiting kaderisasi sudah menampakkan aneka ragam kafaah, aneka ragam muyul, yang kita rekrut, sudah barang tentu mereka secara structural merasa terwakili. Ini harus diperhatikan mengingat qa’idah tanzhimiyah kita semakin luas semakin menjangkau aneka entitas kemasyarakatan.
Ikhwan dan akhwat fillah,
Semuanya bisa mengekspresikan, bisa mengaktualisasikan, bahkan bisa mengartikulasikan ide-idenya, pendapat-pendapatnya, bakat-bakatnya, ahli-ahlinya, seluruhnya tampil dalam hidup kejamaahan yang memang membutuhkan mereka semua karena doktrin kesyumuliyahannya dan ketakamuliyahannya.
Yang kelima, at-tawazun fi tamwil, sebagai dukungan bagi kokohnya tawazun fi tauzhif, tawazun fi tafwidh, tawazun fi taqrir dan tawazun fi tamtsil jama’ah. Kita memerlukan tawazun fi tamwil. Kekokohan istiqrar tanzhimi selalu membutuhkan keseimbangan anggaran, keseimbangan pendanaan, atau keseimbangan pembiayaan. Karena amwal merupakan darah dari aktivitas manusia, begitu juga gerakan dakwah kita memerlukan darah itu, sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Al-Qur’an surat At-Taubah: 41,
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. At-Taubah: 41)
Ikhwan dan akhwat fillah,
Keseimbangan anggaran dalam jamaah adalah merupakan keharusan, jangan sampai terjadi adanya bidang miskin dan bidang kaya, atau departemen ‘basah’ dan departemen ‘kering’, atau wilayah dakwah gemuk dan wilayah dakwah kurus. Untuk terjaganya tawazun fi tamwil atau keseimbangan anggaran, atau keseimbangan pembiayaan diperlukan dua hal:
Pertama, adanya keadilan anggaran antar pusat dan daerah, antara wilayah, dan antar bidang, antar departemen. Keadilan anggaran juga berarti keharusan memperhatikan keseimbangan antara kemampuan otoritas keuangan jamaah dalam memenuhi anggaran dengan tuntutan kebutuhan bidang-bidang, departemen-departemen, dan wilayah-wilayah atas anggaran
Kedua, adanya semangat ta’awun, semangat tadhamum, dan semangat takaful antar bidang, antar departemen, antar wilayah dan bahkan antar personil jamaah dakwah ini, sehingga jamaah dakwah ini benar-benar menjadi 'kal jasadil wahid’ yang seluruh komponennya saling merespon satu sama lain secara proaktif.
Istiqrar Da'wi
Ikhwan dan akhwat fillah, jika istiqrar tanzhimi tadi bisa terwujud dengan seluruh muqawwimat-nya yang lima tersebut terpenuhi, maka, insya Allah terjadilah istiqrar da'wi, dakwah kita stabil, jalan terus. Guncangan apapun tidak akan membuat kita terguling, jebakan apapun tidak akan membuat kita terperosok, situasi apapun kita tidak membuat kita terkecoh, insya Allah dakwah yang mustaqirrah, istiqrar da’wi itu adalah sangat penting dalam rangka mewujudkan matanatul jamaah tadi.
Hayawiyatul Harakah
Ikhwan dan akhwat fillah, kemudian yang ingin saya sampaikan tadi yang kedua adalah hayawiyatul harakah (masalah dinamika harakah). Dinamika harakah ini juga mempunyai keterkaitan dengan aspek manajerial yang sering saya sebutkan sebagai khuthuwat tahfizhiyah (langkah-langkah penggairahan, pembangkitan semangat) dari seluruh anggota jamaah ini, dari seluruh aktivis dakwah ini seperti yang sering saya sebutkan,
1. Pertama, musyarakah ‘inda ittikhadzil qarar (keterlibatan dalam mengambil keputusan), syuriyan wa istisyaratan, secara isytisyarah konsultatif (syura secara informal),
2. Kedua, at-tasyji’ ‘indal ijtihad (membangkitkan semangat berijtihad), berani mengemukakan pendapat, berani memberikan kontribusi pemikiran, berani memasukkan usulan-usulan harus digalakkan. Karena salah satu potensi besar yang dianugerahkan Allah pada kemanusiaan adalah akal. Kalau akal para aktivis duat dan daiyat tidak dirangsang untuk berijtihad maka akal mereka akan terbengkalai, artinya kita telah menelantarkan potensi terbesar dari kemanusiaan yang merupakan anugerah Allah Taala. At-tasyji’ ‘indal ijtihad adalah merupakan dari bagian dari keseharian manajemen dakwah.
3. Ketiga, ad-da’m ‘inda tanfizh (memberikan dukungan dalam melaksanakan tugas-tugas). Mungkin dukungan itu berupa yang mubarakah; Allah yanshurkum, Allahu yutsabbit aqdaamakum atau bahkan dengan memikirkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam back-up dalam pelaksanaan tugas-tugas kita pikirkan bersama. Jika setiap ikhwan dan akhwat di lapangan merasa bahwa ia tidak berjalan sendirian, ada ikhwan dan akhwat yang mendukungnya, ada ikhwan dan akhwat yang mendukung dengan menyediakan fasilitas sarana dan prasarana, ada ikhwan dan akhwat yang memberikan dukungan pemikiran, ada ikhwan dan akhwat yang melakukan tawashau bil haq, tawashau bis shabr, dan tawashau bil marhamah, yang menuntun dari kemungkinan-kemungkinan terpeleset kepada kesalahan, dan membantu mengokohkan kesabaran dalam menghadapi tantangan, juga yang menolong ketika mengalami kesulitan atau musibah dengan penuh kasih sayang, maka dia akan semakin dinamis dalam bergerak. Hayawiyatul harakah adalah salah satu bagian dari yang harus diperhatikan melalui khuthuwat tahfizhiyah tadi.
4. Keempat, al-i’tiraf wat taqdir ‘indal injaz (pengakuan dan penghargaan ketika berkarya). Karena sudah menjadi fitrah manusia, selain dia perlu pengakuan akan eksistensi dirinya, tapi juga perlu penghargaan atas prestasi dirinya jazaan bima kanu ya’malun itulah yang dicontohkan oleh Allah Taala, selalu ditawarkan al-jaza, al-jaza, dan al-jaza. Sudah barang tentu kita tahu bahwa seluruh duat dan daiyat motivasinya lillahi Taala. Laa uridu minhum jazaan au syukura, bahasanya memang begitu yang menjadi landasan keyakinannya dalam berjuang tapi sebagi jamaah sudah barang tentu harus menghargai setiap fitrah dari setiap aktivis dakwah. Jika berprestasi kita berikan jazaan au syukura, kalau tidak memberikan imbalan berilah ucapan terima kasih atas prestasinya.
5. Kelima, al-insyaf indal khatha’ (keinsyafan ketika dia melakukan kesalahan) sehingga jika dia bersalah pun disambut dengan sikap afwan watasamuha. Bukan saja berprestasi kita sambut dengan jazaan aw syukura tetapi jika bersalah pun afwan wa tasamuha (pemaafan dan toleransi). Kita mengakui hak kemanusiaan untuk kemungkinan bersalah jangan sampai akibat kesalahannya seorang ikhwan, seorang akhwat dilecehkan, didiskreditkan sehingga potensinya hancur di perjalanan. Padahal kesalahannya itu hanya sebuah kepeseletan dari sekian ribu langkah dakwahnya yang sudah diayunkan selama ini dengan benar. Kita jangan membunuh masa depan mereka, masa depan dakwah mereka. Karenanya lihat tuntunan manajemen dakwah Allah Taala.
Jika terjadi kesalahan, fa’fu anhum, maafkan mereka, wastaghfir lahum, bahkan secara proaktif memohonkan ampunan baginya dari Allah Taala, dan bahkan sesudah salah pun masih diperintahkan fasyawirhum fil amri, masih diajak musyawarah. Sudah mendapatkan afwu wa thalabul maghfirah, fasyawirhum fil amri, Sehingga bangkit kembali azam dia untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sehingga memiliki kembali tekad bersama faidza ‘azamta fatawakkal alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin.
Ikhwan dan akhwat fillah, khuthuwat tahfizhiyah ini untuk memelihara hayawiyatud da’wah. Untuk memelihara hayawiyatud da’wah kita harus mendorong:
1. Semangat interaktif dari seluruh kader-kader dakwah dengan segala permasalah Islam wal muslimin, segala permasalahan bangsa dan tanah air, segala permasalahan dunia dan kemanusiaan. Dengan semangat interaktif terus-menerus dengan segala qadhaya, Islam wa qadhaya ummah, qadhaya wathan wal qaum, wa qadhaya insaniyah wa ‘alamiyah, insya Allah, kegairahan itu bisa terpelihara.
2. Syajaah adabiyah, keberanian moral untuk melangkah karena sadar akan tanggung jawabnya dalam perjalanan dakwah ini.
3. Jur-atul mubadarah, keberanian untuk berinisiatif, keberanian untuk melangkah, keberanian untuk melakukan sesuatu, if’al syai’an lillah, if’al syai’an lil islam wal muslimin, dia lakukan sesuatu, berani dengan jur-atul mubadarah. dengan keberanian berinisiatif.
4. Jur-atul ibtikarah, keberanian berkreativitas, menemukan asalib jadidah (metode-metode baru), wasail jadidah (sarana/prasarana baru) dan mungkin ijra-at jadidah (prosedur-prosedur baru) untuk mensukseskan dakwah ini. Ikhwan dan akhwat fillah insya Allah dengan dua hal tadi hayawiyatul harakah (dinamika gerakan) dakwah kita akan dipelihara dengan terus menerus.
5. Keberanian menghadapi kenyataan, apapun adanya kenyataan yang kita hadapi, kita harus bisa mengontrol diri, dan kemampuan mengontrol diri merupakan langkah awal untuk mampu mengontrol keadaan dan bahkan mampu merubah keadaan menjadi lebih baik.
Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka… (Q.S. Ali Imran: 159)
Intajiyatud Da’wah
Munthalaq da’wah kita yang ketiga adalah intajiyatud da’wah (produktivitas dakwah) . Berdakwah sering kali hasilnya itu bernilai substansial tapi secara material tidak ril kelihatan. Kadang-kadang kita bekerja, bekerja, bekerja,.. apa ya hasilnya? Sudah barang tentu ada ukuran-ukuran yang menandai keberhasilan dakwah itu. Tapi ukuran-ukuran itu memang cenderung normatif tapi bisa dijadikan patokan, yaitu pertama intajiyatud da’wah kita bimayurdhillah (dengan apa-apa yang membuat Allah ridha. Dan keridhaan Allah yang diturunkan kepada para dai membuat dia, hatinya dikucuri rahmat oleh Allah sehingga hatinya lembut (rahabatush shadr), santun, fabima rahmatillahi linta lahum. Jadi ada refleksi dari hasil dakwah yang menghasilkan ridha Allah yaitu hati yang penuh dengan ghamarati rahmatillah (curahan rahmat Allah) yang qulub layyinah, mutasamihah (hati yang lembut, santun toleran dan seterusnya. Itu tandanya ada keberhasilan bima yurdhillah. Begitu juga bima yanfa’ul islam wal muslimin, yang kedua, keberhasilan dakwah dengan memberikan manfaat kepada Islam dan muslimin. Ini responnya akan nampak lebih jelas lebih real kelihatannya yaitu kalau kita melakukan perintah Allah dengan uslubul ihsan saja, salah satu uslubnya wa ahsin kama ahsanallahu ilaik, sudah barang tentu, hal jazaul ihsan illal ihsan. Kalau kita nuhsinu lin nas bima yanfa'uhum mereka pun akan yuhsinu bid da'wah bima yanfa’ul jamaah. Otomatis saja, kalau kita selalu berbuat memproduk keihsanan bima yanfa’ul islam wal muslimin. Otomatis al-muslimun yuhsinuna ilaina bima yanfaud da’wah wal jamaah. Itu otomatis.
Coba kita hitung perjalanan dakwah kita sekian puluh tahun atau sekian belas tahun. Betapa kontribusi dari al-muslimin wal muhsinun lid da’wah terasa. Di tahun pertengahan 80-an, liqaat ikhwan dan akhwat tidak diketemukan mobil bahkan motor pun jarang Sekarang tempat parkir pun sempit oleh mobil-mobil para duat, itu adalah bima ahsanallahu ilaikum. Itulah ihsan Allah kepada antum semua setelah berbuat ihsan dalam dakwah, berbuat itqan dalam dakwah, sehingga orang-orang pun ikut yuhsinuna ila da’watina wa ila jamaatina. Dulu kita untuk menyelenggarakan pertemuan semacam ini berpikir beberapa kali untuk mengeluarkan uang; sewa gedung dengan segala sarana/prasarana, karena ketidakmampuan kita. Tapi faqad ahsanallahu ilaina, karena Allah telah berbuat ihsan kepada kita, oleh karena itu sekali lagi fa ahsin kama ahsanallahu ilaih, kita tingkatkan keihsanan kita karena Allah telah terbukti meningkatkan keihsanannya kepada kita.
Ikhwan dan akhwat fillah, sudah barang tentu terkait dengan intajiyatud da’wah juga selain bima yanfaul islam wal muslimin atau bima yanfa’unnas atau bima yurdhillah (dengan membuat Allah ridha) kita pun harus berpikir juga bimaa yunasyitud da’wah, apa yang membuat aktivitas dakwah
meningkat, gairah dakwah meningkat, gelora dakwah meningkat. Sudah barang tentu kegairahan, gelora dakwa sesuatu yang fenomena bisa dirasakan atau dilihat. Jika betul-betul langkah-langkah dakwah kita memberikan manfaat kepada semua, sudah barang tentu kegairahan itu akan meningkat merata, imma qudwatan, untuk merupakan keteladanan atau juga da’m, support yang diberikan.
Ikhwan dan akhwat fillah, begitu juga bima yutsabbitul jamaah, manfaat itu dengan apa-apa yang mengokohkan kejamaahan kita. Apakah kontribusi, na'udzubillah membuat kita longgarnya kehidupan berjamaah membuat goyangnya kehidupan berjamaah na'udzubillah min dzalik. Atau kontribusi kita justru mengokohkan jamaah dan semuanya bisa dirasakan secara langsung dalam kehidupan struktural kita dan operasional kita dalam berdakwah.
Insya Allah, ikhwan dan akhwat fillah, jika kita berusaha memenuhi tuntutan-tuntutan dari soliditas jamaah, hayawiyatul harakah dan intajiyatud da’wah yang saya sebutkan tadi tantangan-tantangan yang kita hadapi, pekerjaan berat yang akan kita pikul, tanggung jawab yang luar biasa berat yang akan kita hadapi, insya Allah dengan dipikul secara amal jama’i semuanya akan terasa ringan dan terselesaikan binashrin minallah, Insya Allah.
Allahu yanshurukum wa yutsabbit aqdamakum, insya Allah. Amin ya rabbal alamin. Sekian saja kalimat dari saya, semoga tulisan ini bermanfaat....
Jumat, 10 Juli 2009
puteri, bagaimana cermin itu??
Saat ini malam telah larut, cuaca terasa dingin dan sekitarku menjadi hening, sebening hati dan perasaan sayangku kepadamu. Walau kini tidak disampingmu, aku masih selalu ingat padamu, seperti yang kulakukan setiap waktu. Dan kini, kujalankan jari-jemariku untuk menulis sebuah surat yang hanya khusus untukmu…..bukan untuk yang lain….
Puteri..
Aku teringat akan cerita ibumu tempo hari…
Saat itu engkau masih kecil seumur bayi..
Engkau belum bisa apa-apa, sehingga untuk menarik perhatian, engkau hanya menangis ditengah malam membangunkan keluarga.
Kemudian, engkau tumbuh menjadi gadis kecil yang selalu bermanja di pangkuan Bunda. Dan waktu terus berjalan…..sehingga kini engkau telah menginjak remaja. Engkau menjadi semakin besar, pintar, dan makin banyak pengalaman hidup yang telah engkau miliki. Ah…aku pun jadi rindu ibuku…mungkin akupun seperti itu saat masih kecil.
Puteri….
Saat ini, aku sedang melukis bentuk kamarmu dibenakku. Kamar dimana kita sering berkumpul untuk bercerita banyak hal. Aku masih ingat detil kamarmu, ada almari baju, rak buku, kotak permen, dan Hmmm……cermin itu …yang selalu kau sebut sebagai cermin paling indah… Engkau memang sudah lama memilikinya, dan aku yakin engkau pasti makin suka, karena setiap hari membutuhkannya.
Puteri….. Aku teringat sesuatu tentang cermin itu. Dirumahmu, ada satu lagi cermin besar di ruang tamu. Tak jarang aku melihatmu bercermin disitu ketika engkau tergesa-gesa berangkat.Bahkan didepan kaca jendela, sering….sering sekali aku melihatmu mematut diri apakah terlihat rapi atau tidak. Agar teman-temanmu nanti tidak mengolokmu, begitu selalu katamu.Aku menduga, mungkin engkau juga sering mengaca didepan etalase pertokoan untuk bercermin. Iya nggak ?
Puteri yang amat kusayangi,,,, Jauh di lubuk hati yang paling dalam, ada yang ingin kubicarakan dengamu hari ini. Hanya sebentar saja, cukup sebentar. Nggak akan lama. Engkau ada waktu, kan?
Bukan, bukan pertanyaan bagaimana kabarmu, atau kabar teman-teman seperti yang biasanya kita bicarakan. Namun lebih dari itu. Aku ingin kita berbicara khusus mengenai diri kita,karena aku sadar bahwa semakin hari kita tumbuh semakin tinggi, bukan hanya tinggi badan kita, namun juga ketinggian pola berpikir kita. Kita bukan kanak-kanak lagi yang harus menyuruh kita begini begitu. Kini kita sudah besar, sehingga banyak yang harus kita siapkan agar makin dewasa untuk menentukan sendiri jalan hidup kita nanti.
Wahai puteri….. Hari demi hari telah kita lalui.Telah banyak perubahan yang terjadi , ‘kan? Izinkanlah aku untuk bertanya sesuatu padamu…Kalau kau pandangi dirimu di cermin indah kamarmu itu, apa yang engkau lihat disana? Apakah sesosok gadis remaja yang sudah cukup matang mengarungi hidup ataukah yang masih menjalani proses perubahan membentuk diri? Mungkin, engkau akan menjawab kedua-duanya…atau mungkin hanya salah satu jawaban…
Nggak apa-apa Puteri…Aku bisa memahaminya….
Puteri, ketika engkau didepan cermin yang indah itu….
Masih ingatkah dirimu berapa sering engkau bercermin?
Dan sadarkah engkau siapa yang muncul di cermin itu?
Ya, memang itu adalah engkau.Engkau Puteri…
Engkau yang dulu terlahir dari rahim Bunda, setelah malaikat meniup ruh dan menulis catatan tentangmu ketika engkau masih menjadi janin usia 4 bulan.
Wahai Puteri…. Ketahuilah…Kita semakin beranjak dewasa, dan telah banyak waktu yang kita lalui bersama-sama. Kukenal dirimu jauuuh lebih baik dari yang lainnya. Begitupula sebaliknya. Ada satu hal yang ingin kutanyakan lagi, “Apakah saat ini engkau telah mengenal dirimu sendiri, wahai saudaraku tercinta?Bukan sekedar mengiyakan bahwa sosok bayangan depan cermin itu adalah dirimu? ” Jawablah Puteri, tak usah engkau malu-malu…..karena ini penting. Ini penting sekali sebagai bekal hidupmu kelak, karena seperti yang kita sama-sama mengerti, sekarang ini kita sedang dalam proses mendewasakan diri…dan itu butuh bekal agar kita tidak salah arah.
Puteri sayang….. Izinkanlah aku mengatakan sesuatu kepadamu…
Ketahuilah oleh dirimu, bahwa aku dan kau sama-sama manusia, dua orang hamba yang banyak diberi karunia oleh Allah….karena memang Allah yang menciptakan diriku dan dirimu… Allah yang memenuhi kebutuhanku dan kebutuhanmu, dan Allah pula yang telah mengatur semuanya sehingga kita tumbuh segini besar. Hanya Dia, Puteri….
Ditangan-Nyalah diatur segala urusan, termasuk urusan langit, bumi, hewan, tumbuhan, dan kita para manusia…. Allah di atas langit pula yang telah menentkan bahwa kita tercipta sebagai wanita, sebagai muslimah…Dan lihatlah, betapa tingginya Allah memberi kedudukan kepada kita, sampai-sampai dalam kita suci kita, Al-Quran, Allah membuat surat khusus bernama “An-Nisa” yang artinya perempuan.
Wahai Puteri, engkau masih ingat nama surat itu bukan ? Ini adalah satu diantara sekian tanda bahwa Allah memuliakan kedudukan wanita. Kelak Insya Allah, dari rahim kita lah akan lahir ummat Islam yang banyak, sehingga di hari Akhir nanti, Nabi kita, Nabi Muhammad Shollallaahu’alayhi wa sallam akan mengatakah dengan bangga atas jumlah ummat yang banyak. Bahkan, tentang kodrat wanita, RasuluLlah pun bersabda,
“Sesungguhnya dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalehah”.
Hadits ini disampaikan oleh Imam Muslim, dan memang benar dan shahih bahwa ini perkataan Rasul. Engkau kini yakin bukan bahwa Allah dan Rasul-Nya amat menjunjung martabat kita?
Puteri yang amat kusayangi… Kuajak diriku dan dirimu…Yakinlah dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah memilih aku dan kau untuk hadir kedunia ini dengan hikmah penciptaan yang agung ; bukan sembarangan, karena Allah Maha Kuasa mencipta apapun yang dikehendaki-Nya, sehingga mustahil bagi Allah untuk sembarangan dalam berbuat, karena Dia Maha Mengetahui dan Maha Luas ilmu-Nya.
Sekarang, cobalah pikirkan lebih dalam… Sampai detik ini, telah banyak sekali nikmat Allah yang tercurah kepada kitam sedari kita kecil sampai sekarang. Dan itu memang karena kebaikan Allah semata, bukan dari yang lain. Allah yang berkuasa berbuat kebaikan, Allah memberi nikmat sehat, ketenangan hati, teman sepergaulan yang baik, ini….itu…., tentu amat sangat banyak, sehingga aku tidak mampu menuliskan semuanya untukmu, karena aku yakin Allah selalu berbuat kebaikan kepada kita semua. Engkau ingat bukan……tempo hari kakimu tidak tergores meski berjalan di atas batu-batu. Itu adalah nikmat Allah yang mungkin terasa kecil bagi kita. Sedangkan nimat yang besar, dan yang paling besar yang mungkin kurang terpikirkan oleh kita…..adalah nikmat iman. Dengan nimat dari Allah yang satu ini, kita bisa dengan bangga menyandang predikat muslimah.
Sungguh Puteri……..tidak banyak wanita-wanita di dunia ini yang bisa dipanggil muslimah. Tengoklah ke negara-negara yang penduduknya tidak mengenal Allah sama sekali, atau mengenal Allah dengan hanya menyebut nama-Nya ketika sedang susah tertimpa bencana, atau bahkan mereka yang malah menyekutukan Allah dengan memohon bantuan kepada selain Dia. Engkau mengetahui keadaan mereka, bukan?
Semoga Allah melindungi kita supaya tidak termasuk golongan mereka. Amin.
Wahai Puteri….. Marilah bersama-sama mengucapkan syukur AlhamduliLlah atas nikmat ini…karena semakin kita mempelajari nikmat Allah dan meyakini betapa Allah Maha Mengetahui atas jiwa-jiwa ini, kita akan bisa semakin memahami hikmah mengapa aku dan kau diciptakan, dan mengapa pula kita semua harus beribadah hanya kepada-Nya…..
Ya, benar….hanya kepada-Nya, karena memang Dia satu-satunya yang berhak untuk disembah. Lain tidak, karena selain Dia hanyalah ciptaan-Nya. Sehingga kita tidak boleh menduakan-Nya dengan apapun atau siapapun. Bagaimana, Puteri ? Engkau memahami hal ini, ‘kan? Aku berharap demikian, karena bagiku, tidak ada yang lebih kuinginkan darimu, kecuali kebaikan untukmu di dunia dan akhiratmu kelah. Karena apa? itu karena aku amat sayang kepadamu…..Aku sayang sekali padamu….
Puteri tercinta, tak terasa sudah kutulis berbaris-baris surat cintaku ini kepadamu. Insya Allah, apa yang kutulis ini adalah sebuah nasehat yang tulus dari hatiku, sebuah nasehat bagiku dan bagimu, agar kita bisa menemukan sosok dewasa cermin indah itu…. karena suatu hari nanti, kita pasti dan harus lebih dewasa daripada hari ini. Dan sebaiknya memang begitu, seiring usia yang bertambah, kita mejadi lebih mengenal akan diri kita yang sebenarnya dan lebih mengerti hak-hak Allah atas diri kita.
Kuakhiri suratku ini…puteri… Semoga Allah mengaruniakan kesempatan kepadaku sehingga bisa kutulis lagi surat untukmu. Dan kuberdoa semoga Allah mengasihi diriku, dirimu, keluarga kita dan kaum muslimin semuanya. Semoga kita selalu mencintai Allah dan Allah pun mencintai kita….Amin. (Sahabat: Asy-D3in)
Rujukan :
1.Abdur Rahman , Abdul Muhsin ; Jagalah Dirimu
2.Majalah As-Sunnah edisi 08/V/1422H-2001 M
Diketik kembali dari oleh Ummu ‘umar dari Buletin Puteri (Jilbab Online)
Jumat, 12 Juni 2009
Kisah sepotong kue
Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam, masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba, untuk membuang waktu ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk wanita itu membaca buku yang baru saja dibelinya. Dalam keasyikannya ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada dianrata mereka. Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan. Ia membaca, menguyah kue dan melihat jam. Sementara sipencuri kue yang pemberani menghabiskan persediannya, ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu. Wanita itupun sempat berpikir”kalau aku bukan orang baik sudah ku tonjok dia!!”. Setiap ia mengambil satu kue, silelaki juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue yang tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu dengan senyum tertawa diwajahnya dan tawa gugup, silelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Silelaki menawarkan separo miliknya sementara ia makan yang separohnya lagi. Siwanita itupun merebut kue itu dan berpikir” ya ampun orang ini benar berani sekali dan ia juga kasar, malah ia tidak kelihatan berterimakasih” belum pernah rasanya ia begitu kesal. Ia menghela nafas lega saat penerbangannya diumumkan.
Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang, menolak untuk menoleh pada si’pencuri kue’ tak tau terima kasih. Ia naik pesawat dan duduk dikursinya, lalu mencari bukunya yang hamper selesai membacanya. Saat ia merogoh tasnya, disitu ada kantong kuenya, di depan matanya!!!. Koq milikku ada disini erangnya dengan patah hati, jadi kue tadi milik lelaki itudan ia mencoba berbagi, terlambat untuk minta maaf ia tersandar sedih bahwa sesungguhnya dialah yang kasar tak tau terima kasih dan dialah pencuri kue itu!!!
Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri, serta tak jarang kita berprasangka buruk terhadapnya.
Orang lainlah yang selalu salah
Orang lainlah yang patut disingkirkan
Orang lainlah yang tak tau diri
Orang lainlah yang berdosa
Orang lainlah yang selalu buat masalah
Orang lainlah yang pantas diberi pelajaran
Padahal kita sendiri yang mencuri kue
kita sendiri yang tak tau tarima casi
Kita sering mempengaruhi, mengomentari, mencemooh dan menilai gagasan orang lain, sementara sebetulnya kita tidak tau betul permasalahannya.
Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang, menolak untuk menoleh pada si’pencuri kue’ tak tau terima kasih. Ia naik pesawat dan duduk dikursinya, lalu mencari bukunya yang hamper selesai membacanya. Saat ia merogoh tasnya, disitu ada kantong kuenya, di depan matanya!!!. Koq milikku ada disini erangnya dengan patah hati, jadi kue tadi milik lelaki itudan ia mencoba berbagi, terlambat untuk minta maaf ia tersandar sedih bahwa sesungguhnya dialah yang kasar tak tau terima kasih dan dialah pencuri kue itu!!!
Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri, serta tak jarang kita berprasangka buruk terhadapnya.
Orang lainlah yang selalu salah
Orang lainlah yang patut disingkirkan
Orang lainlah yang tak tau diri
Orang lainlah yang berdosa
Orang lainlah yang selalu buat masalah
Orang lainlah yang pantas diberi pelajaran
Padahal kita sendiri yang mencuri kue
kita sendiri yang tak tau tarima casi
Kita sering mempengaruhi, mengomentari, mencemooh dan menilai gagasan orang lain, sementara sebetulnya kita tidak tau betul permasalahannya.
RI’AYAH MA’NAWIYAH
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shalih. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif." dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Q.S. An-Nahl: 120-123)
Ikhwan dan akhwat fillah, Tugas apapun, situasi apapun, kondisi apapun yang kita hadapi, modalnya sebagai basis utama munthalaqat da’wah kita hanya tiga, yaitu adanya:
1. Matanatul jamaah (kekokohan/kesolidan jamaah)
2. Hayawiyatul harakah (dinamika gerakan)
3. Intajiyatud da’wah (produktivitas dakwah), tidak lebih dari itu.
Tiga kalimat ini, kalau kita buka-buka catatan kita, mungkin sudah tertulis belasan kali, bahkan mungkin ada yang sudah menulisnya puluhan kali. Tetapi karena kesibukan kita, tanggung jawab kita yang berat, himpitan dan tantangan internal dan eksternal yang berat, kadang-kadang ketika menghadapi situasi kondisi itu, kita lupa membuka untuk merujuknya dari segi siyasatud da’wah, dari segi idaratud da’wah dan dari segi fiqhud da’wah.
Tapi sebagaimana kebutuhan orang-orang yang aktif yang juga diingatkan oleh Allah yang selalu memerlukan tadzkirah, fadzakkir fainnadzikra tanfa’ul mu’minin, maka kalimat saya di petang hari ini merupakan suatu dzikra, merupakan suatu tadzkirah, faman syaa-a dzakarah, yang mudah-mudahan bagi yang menghendakinya bisa mengingatnya sebagai bekalan langkah-langkah perjuangan sebelum melaksanakan 'am intikhabi atau ketika melaksanakan program-program intikhabi atau sesudah 'am intikhabi kita selenggarakan.
Matanatul Jama’ah
Ikhwan dan akhwat fillah, untuk sebuah soliditas jamaah, kita memerlukan suatu kondisi, yang sering disebut dengan istiqrar, ketenangan atau kestabilan. Sudah barang tentu kondisi ini pertama-tama dituntut dari setiap aktivis dari jamaah ini, dari setiap kader, dari ikhwah atau akhwat yang mempunyai komitmen dengan gerakan dakwah ini.
Istiqrar Nafsi
Pertama, setiap kader harus selalu memperhatikan istiqrarun nafsi, ketenangan dan stabilitas jiwanya. Jangan sampai akibat kesibukan yang demikian banyak, tantangan yang demikian berat, tuntutan akan pengorbanan yang melampaui batas-batas kemampuan membuat jiwa kita menjadi kacau, an-nufus al-murtabikah, yang kacau terguncang, yang akhirnya seperti yang sering disindir oleh Sayyid Quthub, sebagai an-nuful al-mahzumah, jiwa yang kalah lebih dulu sebelum terjun ke medan pertempuran. Oleh karena itu setiap kader, ikhwan dan akhwat harus memperhatikan, harus memberikan inayah yang cukup terhadap istiqrarun nafsi, ketenangan jiwanya. Ketenangan jiwa hanya bisa diraih melalui upaya:
mengarahkan hati kita selalu berhubungan dengan Allah Taala. Bagaimana menjadikan hati kita menjadi hati yang al-muta’alliqah billah, hati yang senantiasa berhubungan dengan Allah. Hanya dengan itulah itmi’nanun nafsi, ketenangan jiwa bisa ditumbuhkan, bisa dipelihara dan bisa dikembangkan. Bahkan melalui fenomena khalqillah, dengan segala fenomenanya dan dengan segala interaktifnya, kita pun harus bisa menggali ibrah wal hikmah litathminil qulub, untuk membuat hati kita tenang. Fenomena universal dengan segala interaksinya, dengan segala gerak dan perilakunya selalu memberikan hikmah wal ibrah untuk memberikan tathminul qulub, penenangan hati. Karena langsung dengan demikian mengingat akan keagungan Allah, kebesaran Allah, kasih sayang Allah, rahmat Allah dan karunia Allah yang demikian banyak ala bidzikrillah tathmainnul qulub.
Ikhwan dan akhwat fillah, kita sebagai duat dan da’iyat ilallah harus menjadi orang yang paling sanggup memelihara hatinya dalam kondisi al-qulub al-muthmainnah dari sanalah akan tumbuh tsiqah, watsiqun billah, watsiqun binashrillah, yakin betul kepada Allah, yakin betul akan adanya kemenangan yang dianugerahkan oleh Allah. Tanpa itu dengan tantangan dan tugas berat ini kita akan gelisah, oleh karena itu hati kita harus selalu dihubungkan dengan kekuatan Maha Besar, yaitu Allah Taala Maa indakum yanfadu wa maa indallaahi baaqin, apa-apa yang disediakan oleh Allah untuk para mujahidin, para duat ilallah la yanfad, baaqin laa yanfad. Qanaah inilah yang harus kita miliki. Tanpa qanaah kita akan ngeri melihat kekayaan yang dimiliki partai-partai besar dengan hasil rampokannya yang demikian banyak seolah-olah di mata kita akan berlomba dengan kekuatan seperti itu. Tetapi kalau kita yakin bahwa yang memerintahkan kita berlomba adalah Allah Taala dalam rangka al-khairat, fastabiqul khairat, kita insya Allah tidak akan ragu untuk start dan berjalan dengan manhaj Allah dan mencapai finish, mardhatillah. Allah akbar, Allah akbar.
Ikhwan dan akhwat fillah, alhamdulillah, kita selama ini, jamaah selalu memahami kita, menjaga kita, memelihara kita, memberi inayah kepada kita agar hati kita terpelihara, jangan sampai menjadi nufus murtabikah, jangan menjadi jiwa yang guncang, jiwa yang kalut dalam menghadapi tantangan. Dan bahkan Allah Taala telah mengarahkan kepada kita bagaimana agar istiqrarun nafsi itu bisa dipelihara, maka kemudian Allah mewajibkan dan menyunahkan akan adanya sunnah berumah tangga dan berkeluarga. Karena berkeluarga adalah salah satu jenjang, salah satu sarana, salah satu wadah untuk memelihara nufus mustaqirrah.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Ar-Ruum: 21)
Istiqrar ‘Aili
Oleh karena itu istiqrarun nafsi itu harus dilanjutkan dengan upaya mewujudkan yang kedua, yaitu: istiqrarun ‘aili, ketenangan dan kestabilan keluarga para dai dan daiyat. Saya menyadari, sesadar-sadarnya bahwa keluarga duat dan daiyah tidak seperti keluarga kebanyakan manusia. Dari mulai munthalaqnya, pangkal bertolaknya mereka berumah tangga, dimana rumah tangga itu dibangun dengan mahabbah fillah. Apa lagi sama-sama dibangun melalui kesatuan wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan wihdatul minhaj. Bahkan selalu seiring bergandengan tangan dalam perjalanan dakwah dengan segala pengorbanannya, maka ikatan mahabbah fillah yang didasari wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan wihdatul manhaj itu diikat pula oleh ikatan romantisme dakwah. Ikatan romantika dakwah yang mengikat rumah tangga kita. Allahu akbar walillahil hamd.
Oleh karena itu bagi yang sudah berumah tangga untuk selalu memelihara istqrarun nafsi, kita pun harus betul-betul memelihara istiqrar ‘aili kita, stabilitas dan ketenangan rumah tangga kita. Rumah tangga dai adalah rumah tangga qa’idah da’wiyah, homebase bagi dakwah itu, dan komandan markasnya adalah istri. Sudah barang tentu para junudullah membutuhkan ri’ayah dari komandan agar kegairahan berdakwahnya tetap bergelora, agar semangat dakwahnya tetap menggebu, agar daya juangnya tetap berkobar. Oleh karena itu mu’asyarah bil ma’ruf, mu’asyarah zaujiyah bil ma’ruf adalah merupakan sendi-sendi yang harus diperhatikan dalam memelihara istiqrar ‘aili, kestabilan keluarga dai. Pelihara hubungan dengan istri, dengan suami, dengan anak dengan mertua dengan orang tua, dengan siapa pun yang terkait dengan keluarga kita, karena seluruhnya adalah merupakan ra’sul mal, modal utama bagi dakwah ini.
Istiqrar Ijtima’i
Ikhwan dan akhwat fillah, yang ketiga adalah istiqrar ijtima’i, stabilitas sosial kita dalam berkomunikasi dengan tetangga, dengan masyarakat lingkungan. Kita harus husnul jiran, baik jari dzil qurba, apakah tetangga yang memang kerabat atau jari dzil junub, atau tetangga yang jauh, apakah jauh lokasi rumahnya, mungkin terselang beberapa rumah, tapi masih bagian dari lingkungan kehidupan kita atau dekat tapi jauh dari nasabnya. Seluruhnya harus kita pelihara. Kalau kita bisa memelihara istiqrar ijtima’i, insya Allah lingkungan kita akan menjadi al-qaidah al-ijtima’iyah bagi dakwah kita.
Ikhwan dan akhwat fillah, sudah barang tentu untuk mencapai istiqrar tanzhimi itu ada beberapa rukunnya, ada beberapa muqawwimatnya, ada beberapa sendinya bagi istiqrar tanzhimi, yaitu adanya ketawazunan, adanya keseimbangan.
Pertama, at-tawazun fit tauzhif, (bersambung yaaa, bosan kan baca sepanjang inis…….)
Ikhwan dan akhwat fillah, Tugas apapun, situasi apapun, kondisi apapun yang kita hadapi, modalnya sebagai basis utama munthalaqat da’wah kita hanya tiga, yaitu adanya:
1. Matanatul jamaah (kekokohan/kesolidan jamaah)
2. Hayawiyatul harakah (dinamika gerakan)
3. Intajiyatud da’wah (produktivitas dakwah), tidak lebih dari itu.
Tiga kalimat ini, kalau kita buka-buka catatan kita, mungkin sudah tertulis belasan kali, bahkan mungkin ada yang sudah menulisnya puluhan kali. Tetapi karena kesibukan kita, tanggung jawab kita yang berat, himpitan dan tantangan internal dan eksternal yang berat, kadang-kadang ketika menghadapi situasi kondisi itu, kita lupa membuka untuk merujuknya dari segi siyasatud da’wah, dari segi idaratud da’wah dan dari segi fiqhud da’wah.
Tapi sebagaimana kebutuhan orang-orang yang aktif yang juga diingatkan oleh Allah yang selalu memerlukan tadzkirah, fadzakkir fainnadzikra tanfa’ul mu’minin, maka kalimat saya di petang hari ini merupakan suatu dzikra, merupakan suatu tadzkirah, faman syaa-a dzakarah, yang mudah-mudahan bagi yang menghendakinya bisa mengingatnya sebagai bekalan langkah-langkah perjuangan sebelum melaksanakan 'am intikhabi atau ketika melaksanakan program-program intikhabi atau sesudah 'am intikhabi kita selenggarakan.
Matanatul Jama’ah
Ikhwan dan akhwat fillah, untuk sebuah soliditas jamaah, kita memerlukan suatu kondisi, yang sering disebut dengan istiqrar, ketenangan atau kestabilan. Sudah barang tentu kondisi ini pertama-tama dituntut dari setiap aktivis dari jamaah ini, dari setiap kader, dari ikhwah atau akhwat yang mempunyai komitmen dengan gerakan dakwah ini.
Istiqrar Nafsi
Pertama, setiap kader harus selalu memperhatikan istiqrarun nafsi, ketenangan dan stabilitas jiwanya. Jangan sampai akibat kesibukan yang demikian banyak, tantangan yang demikian berat, tuntutan akan pengorbanan yang melampaui batas-batas kemampuan membuat jiwa kita menjadi kacau, an-nufus al-murtabikah, yang kacau terguncang, yang akhirnya seperti yang sering disindir oleh Sayyid Quthub, sebagai an-nuful al-mahzumah, jiwa yang kalah lebih dulu sebelum terjun ke medan pertempuran. Oleh karena itu setiap kader, ikhwan dan akhwat harus memperhatikan, harus memberikan inayah yang cukup terhadap istiqrarun nafsi, ketenangan jiwanya. Ketenangan jiwa hanya bisa diraih melalui upaya:
mengarahkan hati kita selalu berhubungan dengan Allah Taala. Bagaimana menjadikan hati kita menjadi hati yang al-muta’alliqah billah, hati yang senantiasa berhubungan dengan Allah. Hanya dengan itulah itmi’nanun nafsi, ketenangan jiwa bisa ditumbuhkan, bisa dipelihara dan bisa dikembangkan. Bahkan melalui fenomena khalqillah, dengan segala fenomenanya dan dengan segala interaktifnya, kita pun harus bisa menggali ibrah wal hikmah litathminil qulub, untuk membuat hati kita tenang. Fenomena universal dengan segala interaksinya, dengan segala gerak dan perilakunya selalu memberikan hikmah wal ibrah untuk memberikan tathminul qulub, penenangan hati. Karena langsung dengan demikian mengingat akan keagungan Allah, kebesaran Allah, kasih sayang Allah, rahmat Allah dan karunia Allah yang demikian banyak ala bidzikrillah tathmainnul qulub.
Ikhwan dan akhwat fillah, kita sebagai duat dan da’iyat ilallah harus menjadi orang yang paling sanggup memelihara hatinya dalam kondisi al-qulub al-muthmainnah dari sanalah akan tumbuh tsiqah, watsiqun billah, watsiqun binashrillah, yakin betul kepada Allah, yakin betul akan adanya kemenangan yang dianugerahkan oleh Allah. Tanpa itu dengan tantangan dan tugas berat ini kita akan gelisah, oleh karena itu hati kita harus selalu dihubungkan dengan kekuatan Maha Besar, yaitu Allah Taala Maa indakum yanfadu wa maa indallaahi baaqin, apa-apa yang disediakan oleh Allah untuk para mujahidin, para duat ilallah la yanfad, baaqin laa yanfad. Qanaah inilah yang harus kita miliki. Tanpa qanaah kita akan ngeri melihat kekayaan yang dimiliki partai-partai besar dengan hasil rampokannya yang demikian banyak seolah-olah di mata kita akan berlomba dengan kekuatan seperti itu. Tetapi kalau kita yakin bahwa yang memerintahkan kita berlomba adalah Allah Taala dalam rangka al-khairat, fastabiqul khairat, kita insya Allah tidak akan ragu untuk start dan berjalan dengan manhaj Allah dan mencapai finish, mardhatillah. Allah akbar, Allah akbar.
Ikhwan dan akhwat fillah, alhamdulillah, kita selama ini, jamaah selalu memahami kita, menjaga kita, memelihara kita, memberi inayah kepada kita agar hati kita terpelihara, jangan sampai menjadi nufus murtabikah, jangan menjadi jiwa yang guncang, jiwa yang kalut dalam menghadapi tantangan. Dan bahkan Allah Taala telah mengarahkan kepada kita bagaimana agar istiqrarun nafsi itu bisa dipelihara, maka kemudian Allah mewajibkan dan menyunahkan akan adanya sunnah berumah tangga dan berkeluarga. Karena berkeluarga adalah salah satu jenjang, salah satu sarana, salah satu wadah untuk memelihara nufus mustaqirrah.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Ar-Ruum: 21)
Istiqrar ‘Aili
Oleh karena itu istiqrarun nafsi itu harus dilanjutkan dengan upaya mewujudkan yang kedua, yaitu: istiqrarun ‘aili, ketenangan dan kestabilan keluarga para dai dan daiyat. Saya menyadari, sesadar-sadarnya bahwa keluarga duat dan daiyah tidak seperti keluarga kebanyakan manusia. Dari mulai munthalaqnya, pangkal bertolaknya mereka berumah tangga, dimana rumah tangga itu dibangun dengan mahabbah fillah. Apa lagi sama-sama dibangun melalui kesatuan wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan wihdatul minhaj. Bahkan selalu seiring bergandengan tangan dalam perjalanan dakwah dengan segala pengorbanannya, maka ikatan mahabbah fillah yang didasari wihdatul aqidah, wihdatul fikrah dan wihdatul manhaj itu diikat pula oleh ikatan romantisme dakwah. Ikatan romantika dakwah yang mengikat rumah tangga kita. Allahu akbar walillahil hamd.
Oleh karena itu bagi yang sudah berumah tangga untuk selalu memelihara istqrarun nafsi, kita pun harus betul-betul memelihara istiqrar ‘aili kita, stabilitas dan ketenangan rumah tangga kita. Rumah tangga dai adalah rumah tangga qa’idah da’wiyah, homebase bagi dakwah itu, dan komandan markasnya adalah istri. Sudah barang tentu para junudullah membutuhkan ri’ayah dari komandan agar kegairahan berdakwahnya tetap bergelora, agar semangat dakwahnya tetap menggebu, agar daya juangnya tetap berkobar. Oleh karena itu mu’asyarah bil ma’ruf, mu’asyarah zaujiyah bil ma’ruf adalah merupakan sendi-sendi yang harus diperhatikan dalam memelihara istiqrar ‘aili, kestabilan keluarga dai. Pelihara hubungan dengan istri, dengan suami, dengan anak dengan mertua dengan orang tua, dengan siapa pun yang terkait dengan keluarga kita, karena seluruhnya adalah merupakan ra’sul mal, modal utama bagi dakwah ini.
Istiqrar Ijtima’i
Ikhwan dan akhwat fillah, yang ketiga adalah istiqrar ijtima’i, stabilitas sosial kita dalam berkomunikasi dengan tetangga, dengan masyarakat lingkungan. Kita harus husnul jiran, baik jari dzil qurba, apakah tetangga yang memang kerabat atau jari dzil junub, atau tetangga yang jauh, apakah jauh lokasi rumahnya, mungkin terselang beberapa rumah, tapi masih bagian dari lingkungan kehidupan kita atau dekat tapi jauh dari nasabnya. Seluruhnya harus kita pelihara. Kalau kita bisa memelihara istiqrar ijtima’i, insya Allah lingkungan kita akan menjadi al-qaidah al-ijtima’iyah bagi dakwah kita.
Ikhwan dan akhwat fillah, sudah barang tentu untuk mencapai istiqrar tanzhimi itu ada beberapa rukunnya, ada beberapa muqawwimatnya, ada beberapa sendinya bagi istiqrar tanzhimi, yaitu adanya ketawazunan, adanya keseimbangan.
Pertama, at-tawazun fit tauzhif, (bersambung yaaa, bosan kan baca sepanjang inis…….)
Kamis, 26 Maret 2009
Di mana Darmaga itu
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan semua kenikmatan dan keindahan di alam semesta ini. Subhanallah Allah telah menciptakan alam raya dan kehidupan yang ada di dalamnya dibalut dengan beragam keindahan Setiap sudut yang terlihat adalah keserasian dan keseimbangan dari karya cipta dari Yang Mahaagung. Tidak ada detail yang tercecer dari keindahan yang Allah ciptakan. Inilah yang patut kita syukuri sebagai hamba yang beriman.
Keindahan ini bisa juga dirasakan terhadap kedua insan yang saling mencintai karena Allah. Keindahan saling mencintai dalam bingkai Islam sungguh sangat begitu indah cinta itu terpancar.
Ada seorang wanita menyukai keindahan yang ada dihatinya yaitu mencintai….ketika datang seorang laki-laki yang ingin mengisi cerita kehidupan mereka, tapi si wanita bingung apakah laki-laki ini layak untuk mengisi cerita dan keindahan di hatinya!? Dan wanita itu kemudian pergi mengembara mencari teman yang layak mengisi keindahan kehidupan di hatinya. Mungkin orang lain berpikir bahwa dia seorang wanita pemilih atau sok cantik dan bla bla bla…..tapi wanita ini tetap mengembara dan berlabuh dari satu darmaga ke darmaga lain. Wanita ini hanya ingin mencari teman hidup pada seseorang yang melabuhkan cintanya pada-Mu agar bertambah keindahan untuk mencintai-Mu, apakah salah bila wanita ini hanya ingin menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-Mu dan menjaga rindu padanya agar tidak lalai merindukan syurga-Mu. Wanita ini terus mengembara karena dia begitu merindukan seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu tapi dia tetap menjaga kerinduan padanya agar tidak lalai merindukan syurga-Mu.
Wanita ini ingin sekali perlabuh di suatu darmaga karena dia tahu pengembaraannya ada halangan dan hambatan. Akhirnya wanita ini menangis dalam kesendirian setiap sujud malam panjangnya, dia takut pengembaraan yang dia lakukan sia-sia sehingga hanya murka-Nya yang didapat. Wanita ini terus menangis dan menangis karena dia begitu takut murka dan ujian tidak bisa lagi dia bedakan, dia pun takut berhenti apakah cinta karenaNya atau hanya syahwat tidak bisa lagi dibedakan.
Wanita ini terus mencari di mana kah darmaga hatinya kan berhenti. Dia selalu berdoa “Ya muhaimin, jika aku jatuh cinta, jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu. Ya Allah.....Rabbul izzati jikalau aku jatuh hati jangan biarkan aku tertatih dan terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru manusia kepada-Mu. Ya Allah, engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-Mu, telah berpadu dalam membela syariat-Mu. Penuhilah hati-hati ini dengan nur cahaya-Mu yang tiada pernah pudar. Lapangkanlah dadaku dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakkal di jalan-Mu..”
Sebagian wanita berharap dapat menikah dengan laki-laki yang mereka cintai, tapi dia beda, dia berharap agar mencintai laki-laki yang dinikahinya.
Salam
dD
Tangisan Isam bin Yusuf
Dikisahkan bahwa ada seorang ahli ibadah bernama Isam bin Yusuf, dia sangat warak dan sangat khusyuk sembahyangnya. Namun demikian dia selalu khuatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyuk dan selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih baik ibadahnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasanya kurang khusyuk.
Pada suatu hari Isam menghadiri majlis seorang abid bernama Hatim Al-Asam dan bertanya: "Wahai Aba Abdurrahman (Nama gelaran Hatim), bagaimanakah caranya tuan sembahyang?"
Berkata Hatim: "Apabila masuk waktu sembahyang, aku berwuduk zahir dan batin."
Bertanya Isam: "Bagaimana wuduk batin itu?"
Berkata Hatim: "Wuduk zahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wuduk dengan air. Sementara wuduk batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara:
* Bertaubat.
* Menyesali akan dosa yang telah dilakukan.
* Tidak tergila-gila dengan dunia.
* Tidak mencari atau mengharapkan pujian dari manusia
* Meninggalkan sifat bermegah-megahan.
* Meninggalkan sifat khianat dan menipu.
* Meninggalkan sifat dengki."
Seterusnya Hatim berkata: "Kemudian aku pergi ke Masjid, kukemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku. Dan kubayangkan pula bahawa aku seolah-olah berdiri di atas titian Shiratul Mustaqim' dan aku menganggap bahwa sembahyangku kali ini adalah sembahyang terakhir bagiku (kerana aku rasa akan mati selepas sembahyang ini), kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik. Setiap bacaan dan doa dalam sembahyang ku faham maknanya, kemudian aku rukuk dan sujud dengan tawaduk (merasa hina), aku bertasyahud (tahiyat) dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku bersembahyang selama 30 tahun.
Apabila Isam mendengar menangislah ia sekuat-kuatnya kerana membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim
Minggu, 08 Februari 2009
Intektual Cul-De-Sac
Setelah kran-kran kebebasan dibuka, sebagai akibat kebebasan dibuka, sebagai akibat gerakan reformasi, ada suatu struktur berpikir aneh yang diidab oleh sebagian masyarakat Indonesia. Gejalanya setidaknya bisa kita lihat dalam beberapa bentuk ekspresi. Misalnya , ketika pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak oleh MPR, sontak orang Sulawesi Selatan marah. Habibie dihimbau agar pulang saja kekampung halamannya untuk memdirikan Negara sendiri “Indonesia Timur Raya”.setelah Megawati kalah bertanding melawan Gus Dur dalam perebutan kursi Presiden, warga PDI P dengan garang melakukan kerusuhan di beberapa daerah, seperti Solo, Bali dan Jakarta. Begitu juga saat Gus Dur dilengser di tengah jalan oleh lawan-lawan politiknya, muncul kelompok pembela Gus Dur atas yang menamakan “Pasukan Berani Mati” dan seterusnya.
Dalam beberapa ekspresi di atas terlihat bahwa tampak ada gejala keterputusan dalam jalinan bangunan struktur berpikir yang dipakai sebagian masyarakat kita. Model berpikir terkesan meloncat, rancu dan bahkan irrasional. Keracuanan berpikir tersebut dalam perkembangannya kemudian memproduksi konsebsi-konsebsi dan prilaku yang secara paradigmatic sangat instant dan secara prktis membahayakan bagi kehidupan demokrasi dan keadaban.
Seperti dapat kita lihat dalam beberapa contoh kasus diatas, tidak terdapat satu pun kualitas logis dan utuh secara filosofis mendasari beberapa peristiwa yang terjadi. Yang ada tak lebih dari sebuah emosi instant yan mengakumulasi, kemudian menjadi sebuah konsebsi dan mewujud dalam praktis yang tidak mempunyai basis rasio yang kukuh dan logis, bahkan cenderung dipelintir dan dipolitisi.terlihat dimasyarakat kita gagap dengan keterbukaan dan kebebasan yang tiba-tiba didapat, sehingga munsul kekacauan dan kerancuan berpikir dan bersikap yang berbuntut anarki.
Modus dari kerancuan berpikir resebut sangat beragam, yaitu mengunakan satu kasus untuk mendukung argument yang bersifat general. Misalnya, orang meyakini bahwa Orde Baru sebanarnya sangat mendukung umat Islam. Buktinya, banyak masjid Amal Bhakti Muslim Pancasila yang dibangun oleh Presiden Soeharto. Padahal, kita bisa mengajukan contoh yang bertolak belakang yang justru lebih banyak. Ada sebagian masyarakat kita yang menggunakan otoritas sebagai argument, meskipun otoritas itu sebenarnya tidak relevan dengan objek masalah. Ada yang mengkonstruksi konsebsi yang didasarkan pada logika kepentingan (ras, suku, golongan dan agama). Buntutnya, sikap tentang kebenaran, keadilan dan demokrasi ditentukan oleh logika ”kepentingan” yang primordialistik.
Beberapa bentuk kerancuan berpikir diatas, sebenarnya merupakan penyakit yang sudah sangat lama mewabah dalam masyakat kita. Virusnya secara politis dengan halus telat tersemai sejak rezim Orba. Penyakit kekacauan berpikir itu harus segara ditangani secara serius dengan cara membangun kerangka berpikir yang logis dan filosofis dalam bentuk prilaku. Ini tentu signifikan untuk membuat arah yang benar dalam membangun kehidupan yang adil dan demikratis sesuai cita-cita remormasi.
Semua teriak ”Hidup reformasi”, tanpa tahu makna reformasi. Banyak masyarakat bukan hanya politikus kita, yang tidak mampu membedakan antara demokrasi dan anarki, antara kritik dan pelecehan, antara kebebasan dan kebablasan, antara hak dan kewajiban, antara amanat dan nikmat, antara argumentasi dan agitasi.
Kamis, 05 Februari 2009
Susahnya Menjadi Wanita Islam
Kaum hawa bilang susah jadi WANITA ISLAM,mungkin memang karena kewajiban dan peraturan??
1. Wanita auratnya susah dijaga dibandingkan laki-laki.
2. Wanita perlu meminta izin hendak keluar rumah,tetapi tidak sebaliknya
3. Wanita sangsinya kurang dibandingkan laki-laki.
4. Wanita menerima pusaka kurang dari laki-laki
5. Wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak
6. Wanita wajib taat kepada suaminya,tetapi suami tidak perlu taat terhadap istri
7. Talak terletak ditangan suami bukan istri
8. Wanita kurang dalam beribadah karena terhalang haid dan nifas
Bisa jadi karena berbagai peraturan dan kewajiban seperti diatas,fenomena wanita mempromosikan MEMERDEKAN WANITA ISLAM, pernahkah kita lihat kenyataannya??? Benda yana mahal harganya akan dijaga dan dibelai serta disimpan di tempat yang paling aman dan terbaik, sudah pasti intan permata tidak kan berserak bukan??!
1. Itulah bandinnya dengan seorang yang perlu taat kepada suaminya, tetapi laki-laki wajib kepada ibunya 3x lebih utama dari bapaknya,bukan kah ibu seorang wanita?!
2. Wanita menerima pusaka setengah dari laki-laki,tetapi hartanya jadi milik pribadi dan tidak perlu diserahkan kepada suaminya.tetapi laki-laki menerima pusaka digunakan hartanya untuk istri dan anak-anaknya
3. Wanita perlu bersusah payah mengandung dan melahirkan anak,tetapi setiap saat dia didoakan oleh malaikat dan seluruh makhluk Allah dimuka bumi ini dan dijanjikan Allah bahwa meninggalnya wanita Islam karena melahirkan adalah syahid,sementara suami kan diminta dipertanggungjawaban terhadap 4 wanita yaitu istrinya,ibunya,saudara perempuannya dan anak perempuannya.
4. Janji Allah pasti bahwa seorang wanita boleh memasuki pintu syurga melalui pintu syurga yang disukainya,cukup dengan 4 syarat yaitu shalat 5 waktu, puasa di bulan ramadhan, taat kepada suaminya,menjaga kehormatannya.
DENGARLAH WAHAI WANITA ISLAM BETAPA SAYANGNYA ALLAH KEPADA MU...
Selasa, 13 Januari 2009
Kenapa wanita menangis
Suatu hari seorang anak melihat ibunya menangis,kemudian anak tersebut bertanya kepada ibu,"kenapa ibu menangis?",ibu berkata"karena ibu wanita". Jawaban itu tidak dimengerti oleh sang anak,kemudian anak bertanya kepada ayahnya."ayah kenapa ibu menangis?",sang ayah menjawab "karena ibu wanita". Sang anak tak mengerti juga kenapa ayahnya menjawab seperti itu.
Wanita makhluk unik yang Allah ciptakan,begitu halus perasaannya. Baik kali ini saya kan membahas kenapa wanita menangis, mungkin para wanita sendiri juga tidak mengerti dan tidak bisa mengungkapkannya. Baik untuk para laki-laki dan wanita pembahasan ini kan sangat membantu kalian.
Kenapa wanita menangis...? Alasannya karena:
Saat Allah ciptakan wanita Allah membuatnya sangat utama. Allah ciptakan bahunya agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya. Walaupun bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur. Allah berikan kekuatan untuk dapat melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya. Walau sering kali kerap kali menerima cerca dari para anak-anak mereka. Allah berikan perkasaan yang akan membuatnya bertahan pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa. Pada wanita Allah berikan kesabaran untuk merawat keluarganya walau letih, sakit, lelah tanpa berkeluh kesah. Allah berikan kepada wanita perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anak-anaknya dalam kondisi apapun dan dalam situasi apapun, walau tidak jarang anak-anak mereka melukai hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberi kehangatan para bayi-bayi yang terkantung menahan lelap, sentuhan inilah yang akan memberi kenyamanan disaat dekap lembut olehnya. Allah berikan kepada wanita untuk membimbing suaminya melalui masa-masa sulit dan menjadi pelindung baginya sebab bukankah tulang rusuk yang melindungi setiap hati dan jantung agar tidak terkoyak. Allah berikan kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberi peringatan dan menyadarkan bahwa suami yang baik adalah yang tidak pernah melukai istrinya, walaupun sering kali kebijaksanaan itu kan menguji setiap kesetiaan yang diberikan oleh suaminya agar tetap berdiri sejajar saling melengkapi dan saling menyayangi dan akhirnya Allah berikan wanita air mata,agar dapat mencurahkan perasaanya.
Inilah yang khusus Allah berikan kepada wanita agar dapat menggunakan kapanpun ia inginkan, hanya inilah kelemahan yang dimiliki wanita walaupun sebenarnya air mata ini adalah air mata kehidupan, maka dekatkanlah dirimu kepada ibu bila beliau masih hidup, karena dikakinyalah kalian kan menemukan syurga.
Senin, 12 Januari 2009
Munajat di malam hari
Ya Allah...
Malam ini adalah malam ksekian
Dalam untaian hari-hari merajut asa
Ku hadapkan wajah penuh debu dalam hadiratMu
Ku coba menggapai nostalgia manis yang pernah teruntai bersama
Ya Rabbi...
Telah sedemikian tebal sekat antara kita
Telah begitu kokohkah dinding pemisah antara kita
Hingga tak dapat lagi ku rasakan hangatnya nur-Mu
Hingga tak ku tahu lagi sejuknya siraman kasih-Mu
Hingga tak pernah lagi rindu berkhalwat denganMu
Rabbi..
Tak tahu apa yang harus ku sampaikan padaMu
Ketika ku sadari masih ada bilik kecil di hati ini
Kau buatkan khusus untukku
Merenung,menatap jalan panjang ke depan
Rabbi..
Bantu aku menghiasi bilik ini
Agar dapat menerangi pori-pori kehidupan ku
Izinkan aku bernafas dalam buaianMu
Hingga ringan langkahku dalam ketaatan padaMu
Tak ada yang terindah, selain Engkau dalam jiwaku
Rabbi..
Izinkan darahku mengalir dalam dzikir padaMu
Sungguh Rabbi....
Aku Rindu!!
Langganan:
Postingan (Atom)