Aku terperanjat mendengar kata-kata yang tak pernah kuduga sebelumnya, seorang gadis tamatan SMU yang sedang mencari kerja karena tak mendapatkan biaya untuk meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dia seorang gadis yang sangat biasa, dengan setelan jilbab yang juga tidak mencolok. Benar-benar seorang gadis yang biasa.
"Kamu dimarahi lagi?" tanyaku.
"Nggak papa kok, hanya sedikit diomelin." katanya.
"Masih masalah yang sama?" kulanjutkan pertanyaanku, dia hanya tersenyum menatapku. Ya, kurasa masih masalah yang sama. Aku masih ingat ketika dia bercerita tentang apa yang dialaminya. Dia ditawari pekerjaan menjadi pegawai Negeri oleh kakak sepupunya yang mempunyai jabatan di sebuah institusi negeri. Dia di tawari karena memiliki kecerdasan yang bisa dibilang diatas rata-rata. Namun ada satu hal yang harus dia lakukan yaitu mengakui bahwa dia pernah ikut serta dalam kegiatan yang di gelar institusi itu. Hal itu terjadi karena jurusan yang diambilnya waktu SMU tidak cocok dengan jurusan yang diperlukan, dia akan mendapat dispensasi apabila pernah membantu dengan mengikuti kegiatan tersebut.
Mungkin itu adalah peluang emas bagi seorang pencari kerja seperti dia. Apalagi sepupunya itu telah berjanji akan menyiapkan dokumen-dokumen sebagai bukti keterlibatannya dalam kegiatan yang dimaksud. Masalah tes, semua yakin dia bisa mengatasinya. Senangkah dia? Jawabannya tidak sama sekali...
Namun situasi memaksanya untuk terus mengikuti tawaran itu, kedua orang tuanya sangat berharap dia bekerja, apalagi dalam keadaan ekonomi keluarga yang kian memburuk.
Tibalah hari yang ditentukan, dimana dia akan menghadap panitia penerimaan pegawai dan akan mengakui sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Wajah murungnya tak dapat di sembunyikan, kedua orang tua gadis itu melihat jelas mimik wajah buah hatinya, mereka tahu ini sesuatu yang amat sulit dilakukan untuk gadis yang berakhlak seperti dia, namun di zaman sekarang siapa yang akan menghargai sebuah kejujuran?
Dengan menumpang kendaraan sepupunya dia berangkat ke kantor itu. Sepanjang perjalanan dia tidak berbicara sepatah kata pun. Di dalam hati dia tak henti-hentinya menyebut nama Allah, Sang Penulis Takdir manusia. Dia yakin tidak ada satu kekuatan pun yang akan tercipta tanpa kehendak Allah.
Itu yang selalu ada dalam hatinya.
"Namamu Wia?" tanya seorang bapak didepannya. Dia hanya menganggukkan kepala. Tampak sekali gurat keheranan di wajah bapak itu.
"Tamatan dari sebuah sekolah yang terkenal ya?" lanjutnya, gadis itu kembali tersenyum.
"Dik, jurusan kamu nggak cocok dengan yang kami minta, tapi katanya kamu pernah ikut membantu kantor kita ya?" tanya bapak itu lagi. Gadis yang bernama Wia itu tampak sangat gugup, dia pejamkan matanya sesaat, entah apa yang ada dalam pikirannya. Bapak tadi nampak penasaran dan tak sabar menunggu jawaban Wia. Sebenarnya pertanyaan itu hanyalah formalitas, namun bagi Wia adalah pertaruhan antara kejujuran dan kebohongan.
Dia membuka matanya dan menjawab, "Tidak... Saya tidak pernah mengikuti kegiatan itu dan tak pernah membantu kantor ini." Bapak itu terdiam sesaat dan kembali bertanya, "Apa kamu yakin dengan apa yang kamu katakan?"
"Ya, sangat yakin." Sebuah jawaban yang kontroversial, namun seorang gadis yang belum genap 19 tahun yang mengatakannya.
"Kalau begitu maaf sekali Dik, kamu tidak bisa melanjutkan..." ucap bapak tadi.
"Nggak papa kok Pak." jawabnya begitu riang, seraya pamit dan melangkah keluar dengan senyuman. Tak ada lagi beban yang menghimpit dadanya.
"Alhamdulillah Ya Robb, Engkau menyelamatkanku dari sebuah lingkaran setan, yang apabila ku masuk kedalamnya, takkan biasa keluar lagi." Itu yang diucapkannya dalam perjalanan pulang.
***
"Kok senyum Mbak?
"Wi, sampai saat ini orang tuamu masih kecewa ya?"
"Sepertinya iya, mbak.
"Tapi pekerjaan yang ditawarkan pada kamu bukan pekerjaan yang hina lo Wi?" kataku mencoba melihat reaksinya.
"Iya, itu bukan pekerjaan yang hina, namun cara Wi mendapatkannya yang hina, Mbak. Wi memilih Allah diatas segalanya. Dengan ridha
Aku tatap wajah gadis dihadapanku. Gurat kebeliaan masih terukir di wajahnya, namun betapa indah hatinya.
Aku berkata pada diriku sendiri, "Dunia, lihatlah apa yang kau lakukan pada gadis kecil ini, tidakkah negeri ini memerlukan orang-orang seperti dia? Mengapa justru yang menduduki kursi-kursi itu adalah anak pejabat yang terkadang tak punya aturan dalam hidupnya? Kejujuran yang dia pertahankan membuahkan kekecewaan pada orang tuanya, membuatnya kembali harus mengumpulkan koran, untuk mencari kolom "LOWONGAN KERJA".
"Siapa yang akan menghargai kejujuranmu?" itu pertanyaan yang selalu di lontarkan orang tuanya.
"Allah dan RosulNya." jawabnya dalam hati.
Dan dia pun kembali mengelilingi
***
Kejujuran adalah sesuatu yang amat berharga, sayang pada masa ini begitu banyak orang yang takut akan kejujuran. Ketika kita di hadapkan pada dua pilihan, yaitu kemegahan dunia atau berjuang di jalan Allah, adakah kita akan dengan tegas menjawab seperti Wia, "Aku memilih Allah di atas segalanya." (laut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar